header-photo

Heels for whole life?

People love beauty
That is our nature
But, will we choose magnificence over needs for whole life?


 Jika ditanya, barang apa yang paling saya perhatikan? jawabannya adalah sepatu.
Ukuran kaki yang kecil (yang sebenarnya agak kurang proporsional dengan tinggi dan berat badan), sesungguhnya memudahkan saya  membeli jenis alas kaki apa saja.

Saya pernah menemani teman (yang konon katanya paling cantik dalam khasanah pertemanan saya) membeli sepatu. Ukuran kakinya sebenarnya biasa saja, tapi cenderung agak melebar. Sehingga ia harus melepaskan mimpi untuk memiliki septau highheels yang ramping nan cantik (Tuhan memang adil, hehe)

Tak ada pantangan bukan lantas membuat saya mudah menjatuhkan pilihan. Semakin banyak pilihan semakin sulitlah memilih. Saya ingat dulu ketika jaman liburan sekolah, kami sekeluarga bisa untuk jalan - jalan ke surabaya. Tunjungan Plaza? It Must! jaman itu TP gedenya ga ketulungan (sampe sekarang masih suka nyasar didalamnya). Apa tujuannya?
Cari sepatu sekolah. Yang hitam, yang polos, yang sebenarnya sangat mudah ditemukan.



Tapi apa yang terjadi? 



Dari North hingga South Mall, dari TP 1, 2, 3, kecuali TP 4 yang isinya SOGO (ya iyalah!) sudah diputari dan hasilnya - nihil . Untungnya menjelang pulang aku menemukan outlet sepatu merk MISS (terakhir aku ke TP sudah tak ada lagi). Saat itu sepatu merk ini sering ngiklan di majalah GADIS dan Kawanku!, (maklum abegeh SMP). Setelah memilih beberapa lama. pencarian pun usai.

Pun setelah mendewasa, meski tak se-selektif sewaktu kecil. Kebiasaan sulit memilih dan kegigihan mencari yang benar-benar pas di hati, kadang membuat lelah sendiri. Masalahnya disini:
Yang dipilih harus pas di hati. Bukan di kaki

Mulanya saya tidak menyadari hal ini hingga suatu saat saya membersihkan sepatu - sepatu yang tersimpan rapi di kotak masing2. Ternyata banyak sepatu itu yang kekecilan, kebesaran, jarang yang benar2 pas.
Hampir semuanya tak nyaman di kaki saya, yang sesungguhnya sangat mudah dicarikan ukuran yang pas.


Tiap sepatu yang saya beli, saya ingat asal muasalnya. Karena apa dan karena siapa juga mungkin.Saya cenderung memilih karena bentuknya warnanya, ornamennya, mereknya, hingga karena harganya. Karena saya butuh? sama sekali tidak. Karena nyaman? itu nomer kesekian. Anehnya, setelah dihitung, jumlah high heels saya jumlahnya tak jauh beda dengan flatshoes. Iseng saya tanya ke teman - teman kantor saya apakah mereka pernah liat saya pakai high heels? Nyaris tak pernah! Bahkan akhir - akhir ini kenikahan saja saya pakai flatshoes dengan alasan kepraktisan.


Semalam, iseng saya nge-tweet: "pilih mana, flatshoes atau high heels?' and someone replied: "flatshoes, highheels bahaya, gampang patah. lalu saya jawab lagi, "seperti itulah mencari pasangan hidup"

Dan pagi ini saya menyadari, saat menulis artiket ini. membandingkan statement saya itu dengan kebiasaan saya memilih sepatu.  Oh GOD! Naif sekali. Adakah orang yang benar - benar memilih ornamen, warna, keindahan, ketinggian, serta anatomi bentuk sebagai alasan untuk memilih pasangan hidup? jawabannya: pasti ADA. Tapi benarkah itu semua bisa menciptakan kebahagiaan dari lubuk hati mereka? (atau saya?)

Sebagai orang yang selama ini menghamba pada keindahan, dengan jujur saya jawab: TIDAK
Sepatu-sepatu berhak tinggi itu cenderung menyakiti saya. Meski orang bilang itu indah, Tapi sungguh ketika saya memakainya, obsesi berikutnya adalah:  kapan sepatu ini bisa dilepas? kebahagiaan yang timbul dari keindahan itu tak cukup menjadi obat rasa pegal di kaki saya. Terlebih lagi jika indahnya itu sesungguhnya dinikmati oleh orang lain. Bukan saya.

Setelah dipikir lebih jauh, tak ada yang salah dengan statement saya.  Memilih pasangan hidup, yang setia, yang membahagiakan, sama seperti memilih -- sepatu. Namun yang salah adalah cara saya selama ini memilih sepatu. High heels yang indah itu membahagiakan pandangan orang lain. Ia setia pada dirinya sendiri yang kokoh berdiri, yang tak peduli betapa lelahnya saya bersamanya. ia angkuh pada jalan berbatu, yang tak sudi dijalan berlumpur. Ia hanya mau bekerja sama ketika berada pada lantai-lantai yang rata, yang mengkilap. Ia selalu menawan ketika gemerlap.

Sedang flatshoes yang terpinggirkan ini sesungguhnya ialah yang setia. Ketika bersama ia sungguh mengerti kebutuhan saya ketika harus menurunkan kaki berkali-kali dari motor di macetnya jakarta. Yang membantu saya berlari, yang bersedia kelelahan menopang berat badan saya yang terkadang tak sanggup ditopang sendiri dengan kaki saya yang kecil. Yang segera saya bisa andalkan kapan saja. Yang sanggup menemani masa-masa sulit ketika berjibaku dengan kerikil dan batu ketika menjemput altar ilmu. Namun selalu saya lupakan di setiap perayaan. Betapa tidak adilnya saya.

Pertanyaan berikutnya.
Jika memilih pasangan hidup seperti memilih sepatu untuk dipakai seumur hidup.
No subtitution, No complement shoes,,
Only one, for a whole life. What will we choose?
I guess u know what we should choose :)





















3 comments:

Mentari pagi said...

ahhhh....cantikk...bisa saja menghubungkan antara memilih sepatuu dengan memilih pasangan hidup...Hmmmmmmmmm....nyaman itu dari hati, tak peduli orang mau bicara apa dengan pilihan kita..toh kita sendiri yang akan menjalaninyaa...

nice honey...

JoJo said...

galau ya mbakyu, tapi emang awakmu lek milih sepatu suwwwwiiiiiiiiiii puuuuoooollllllll #tepokjidat

Aswien said...

Artikelnya dalem banget, keren abis ly...

kalo para flatshoes baca ini, wah bisa2 ada antrian panjang, hehe :)