header-photo

Semeru menggebu


Ketika itu, saya sudah berada di tepi jurang. Ingin menuruni tebing dan nekat menjumpai buih ombak laut jauh di dasar tebing. Dan tak lama dari keputusan saya yang prematur itu, ada sebuah pesan. Yang berdenting menarik perhatian. Kuputuskan untuk mengintip sebentar. 

Naik Gunung yuk, Semeru. Gimana menurutmu?
Dari pada kamu turun sendirian, aku temani kamu memuncak, membuat cita - cita baru.




Dan setangkup rindu pada hawa dingin serta hangat mentari yang begitu disyukuri hadirnya di gunung tiba - tiba hadir. Menggulung keinginan yang tadi membuncah menuruni tebing di depan mata. Berbalik dan mulai melangkah menuju tempat pertemuan. Rindu pada sahabat saya yang seringkali menjadi penyelamat dari keputusan - keputusan yang gegabah dan tidak berarah.

Tapi, naik gunung? sedangkan lift adalah benda yang amat saya idamkan di kampus. Terengah - engah sambil mengutuki manajemen kampus dengan kata - kata yang selalu diulang: kemana uang sumbangan pendidikan saya, hingga kami mahasiswa yang bayar mahal di siksa naik tangga seperti ini.  

Tapi, naik gunung? sedang hal - hal yang bersifat - pengetahuan alam- saya amat sangat terbatas. Naik gunung baru satu kali. Dan lebih tepatnya wisata ke gunung yang tak lebih dari 3000 mdpl.menapaki tanjakan satu demi satu pastilah sesuatu.

dan Semeru?
Ya semua orang tahu. Siapapun yang berhasil menapakkan kaki di puncaknya patutlah berbangga hati. Dan saya pun selalu bertanya - tanya, orang - orang seperti Soe Hok Gie,  mau menantang maut dan dikalahkan oleh ajalnya di gunung itu, pastilah semeru ini memikatnya dengan luar biasa.

Tapi belum apa - apa, entah apa yang membuat saya begitu bahagia dengan membayangkan puncak gunung. Membayangkannya saja sudah melecut semangat. Saatnya lah saya hadir dalam perayaan kemenangan yang sesungguhnya. Yakni perayaan pembuatan cita - cita baru.

Hari itu, dengan hati yang berbahagia, dengan cemas yang juga sedikit merayap saya memulai.

dan Sungguh Tuhan Maha Baik, Dia memberiku banyak bahkan apa yang tak kuminta. Beberapa sempat kutulis dan ingin saya bagi dengan kalian ke beberapa segmen. Semoga sempat. :)


Life in Flower Land


Dalam dunia imaginasi saya, tak perlu rumah mewah, mobil mewah dan segala harta benda. Tapi bercita - cita ingin punya rumah ditengah taman bunga bak dongeng anak - anak. Masih boleh kan berminpi ala princess?

Kecintaan saya pada bunga entah sejak kapan. Berawal dari seringnya mengunjungi rumah guru SD buat bimbingan belajar. Rumahnya mungil, maklum rumah dinas, tapi sekelilingnya bunga dan tanaman dimana-mana. Nyaman rasanya. Tiap keluar rumah langsung timbul semangat karena mata dimanjakan dengan kesegaran alam. Ada suara gemericik air mengalir. Surga dunia lah pokoknya. Cinta pada bunga ini makin menjadi - jadi sejak saya menemukan pasar bunga yang bernama Rawabelong. Tak terkatakan lah bahagianya setiap kali saya ada disana.

Sayang orang tua dan saya beda selera. Buat ayah dan ibu, taman, bunga, kolam dan semacamnya itu nomer dua. Yang penting penghuninya ga kena panas ujan aja. Udah, cukup. Mau perabot taruh mana, warna korden ga matching sama sofa dan lain - lainnya. yang penting ada. ga pusing dengan estetika. keindahan bukan concern utama. karena saya bukan sponsor utama, malah pihak yang disponsori, apalah daya bargaining power saya kecil saudara - saudara.

Jadi, impian rumah idaman itu hingga saat ini belum terwujud. Rumah dengan saung dari kayu di kaki gunung, dengan taman bunga sekeliling. Tak perlu besar. Tapi cukup untuk menampung beberapa anak mungkin belasan bermain dan belajar disana. Bukan anak saya saja (nanti) tapi juga orang - orang lingkungan sekitar. Cita - cita besarnya, di Flower Land tadi, hidup saya dengan keluarga kecil, beserta anak - anak desa yang saya didik agar menggenggam erat cita citanya. Jadi apa saja terserah mereka, saya adalah penjaga sekaligus pembangkit optimisme agar anak - anak lugu itu tetap bercita - cita. Yang ketika itu, semoga cita - cita bukanlah hal yang langka. Yang ketika itu, entahlah negara kita makin semrawut atau sudah lebih baik. 

Rumah ini terlalu besar, namun ada dikaki gunung ijen lengkap dengan bunga ala belanda.


Ketika Kotak Amal Kosong, Kemana Perginya?


Alkisah petugas pengambil kaleng amal tertunduk lesu karena hasil amal para jamaah merosot tajam. Diantaranya justru mengambalikan kaleng amalnya. Para jamaah curiga hasil pengumpulan amal dikorupsi oleh pengurus masjid. Renovasi masjid tak kunjung usai, sedang amal tak pernah kurang diberi. Petugas amal juga dituduh sebagai koruptor kaleng amal. Petugas amal yang sedih itu bertanya dalam diam. Jika benar hasil amal dikorupsi, apa mogok amal bisa jadi solusi? 

pic: www.flickr.com
Ilustrasi diatas merupakan gambaran mengenai kondisi para “jamaah” yakni wajib pajak yang enggan membayar pajak karena adanya mistrust terhadap pengelolaan pajak. Seperti para jamaah masjid yang mogok isi kaleng amal, wajib pajak juga melakukan ancaman boikot pajak sebagai bentuk ketidakpercayaan. Namun benarkah boikot pajak ini bisa menjadi solusi? Dimanakah letak permasalahan sebenarnya?

Keletihan masyarakat
Apatisme lahir dari kekecewaan. Boikot pajak muncul sesungguhnya bukan karena motif agama dan kepercayaan – meski memang ada sebagian didorong karena motif tersebut, namun lebih kepada kekecewaan terhadap pengelolaan hasil penerimaan pajak. Masyarakat tentu jengah melihat para pejabat menikmati uang rakyat serta bosan dengan pemberitaan media tentang korupsi. Namun disatu sisi, jalanan masih berlubang sana sini, anak-anak sekolah masih bergelantungan menyebrangi sungai demi mencerahkan masa depan. Terlebih masih ada aparat pajak yang belum hijrah bersama reformasi birokrasi, masih menanggalkan intergitas, kerjasama dengan WP yang tidak jujur mengurangi pembayaran pajak. 

Hal – hal semacam inilah yang menjadi mistrust wajib pajak. Berujung pada tanda tanya besar, kemanakah uang pajak yang terhimpun ratusan triliun itu? Kekecewaan mulai mendera. Kelompok pembayar pajak yang tadinya taat, mulai mengendurkan semangat melihat uang pajak yang mereka bayar masih bocor sana sini. Kelompok pembayar pajak yang curang tetap diam, sambil terus mencari peluang bersama petugas pajak yang mau disuap untuk mengurangi pembayaran pajaknya. Kelompok ketiga adalah kelompok yang bukan pembayar pajak, mereka lah yang kemudian teriak dan turun kejalan meminta keadilan. Menyerukan boikot pajak, menuntut para aparat pajak dan mengutuki Direkorat Jenderal Pajak (DJP), sang amil pajak yang malang. Sayangnya mereka salah alamat. Meminta kesejahteraan meningkat namun bersamaan menyeru pada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Padahal. jika sumber pendapatan negara ini surut, sulitlah mewujudkan keinginan rakyat agar keran – keran subsidi terus dialiri. 
pic: /ideguenews.blogspot.com

mendengarkan dengan hati


Petang itu, sebenarnya hanya ingin mampir maghrib karena adzan sudah berkumandang, tapi selesai  shalat tertarik melihat backdrop penuh cahaya yang biasa puat tempat foto seleb kalo lagi ada award. Wah, ini pasti ada acara seru nih. Niat pulang akhirnya urung dan lanjut isya di mesjid ini.

u are not touching without a smile
Benar saja, jam 8 malam, para jamaah yang umumnya remaja (saya masuk kategori ini) masjid Sunda Kelapa. Semangat juga yah rupanya. Malam minggu biasanya entah kemana, pindah tempat nongkrong jadi di mesjid. Pasti ada yang spesial. Ada siapa sih?

Tak lama kemudian, pembicara datang. Wah,,Alvin Adam! Bakalan asik nih. Kebetulan beberapa waktu lalu, saya sempat baca profil tentang Alvin Adam dan makin impresed dengan personality serta kemapuan beliau setelah baca profil beliau dimajalah. Cuma penasarana aja, gimana yah kalo ketemu langsung? Secara kampanye pencitraan bener2 ga populis lagi. Udah follow twitternya, dan makin suka. Ga heran dong  dengan kemampuan good listening nya, program TV nya masuk dalam jajaran rating tinggi. 

Setelah ketemu, bener deh. Kayak begini nih orang sukses. Auranya keluar. Semangatnya, dibalut dengan kesantunan, tapi kita  sebagai audience tetap merasa dekat dengan beliau. Taglinenya keren. Keren karena unsur simplicitynya bs dia terapkan bener- bener. “Hanya hati yang bisa mendengarkan kata hati”. Wow, hayo siapa yang ngedengerin curhatan orang trs pengen orgnya cepet selesai ceritanya? Saya! Saya ngaku deh, kalo dengerin WP ngeluh blablabla udah ngalor ngidul langsung ga sengaja berdoa; Ya Allah, udahan dong ni si bapak/ Ibu curhatnya” 

Ini nih yang musti saya asah lagi. Sering ngrasa, ga cocok sm pekerjaan karena saya bukan good listener, not good adviser, impatient, plus selalu kalah narsis dan pede dibanding rekan kerja lainnya. Tapi udah 4 tahun kecemplung, masak terus dibiarin aja gitu ketidakmampuan saya mengurung saya dari masa depan cerah yang gemintang? Beuuuh…sip!! (kepercayaan diri saya udah mulai naik nih)

Manusia yang Percaya


pic: penuliscemen.com

Manusia terkadang sangat mudah tertipu. Konyolnya, mereka tertipu dalam perjalanan mereka untuk mendapatkan keyakinan dari apa yang sudah dilihat dan didengar. Sama seperti para nasabah lembaga keuangan gadungan yang tiba - tiba lari meninggalkan para korban. Padahal sesungguhnya para nasabah itu tidak yakin akan kemustahilan uang berlipat ganda. Namun melihat tetangga kanan kiri yang bisa mendadak kaya, mereka sedang dalam perjalanan menuju yakin tapi apa daya hanya bisa gigit jari.

Kadang orang juga mudah tertipu karena mereka berharap pada tipuannya. Sudah tahu bahwa air tak akan bisa jadi bensin, tapi ada saja orang yang sangat ngarep tipuan itu benar adanya. Jika benar air bisa jadi bensin, lalu daun bisa jadi uang, list orang terkaya di dunia bukanlah Bill Gates, tapi bisa jadi Dedy Corbuser. 

Yang terakhir adalah orang yang mengijinkan dia tertipu. Sekali, dua kali, bahkan berkali - kali. Seperti seorang ibu yang tak kuasa untuk tetap mempercayai anaknya meski ia tak punya lagi ruang untuk kecewa saat tahu anak kesayangannya itu masih tak meninggalkan narkobanya. Seperti istri yang tahu bahwa suaminya adalah seorang peselingkuh, tapi ia tetap memperbarui kepercayaannya ketika suaminya ijin keluar kota. Seperti ayah yang menunggu belasan tahun untuk keadilan anaknya yang terbunuh. Seperti rakyat yang tau bahwa orang yang ia pilih untuk mewakilinya di gedung yang terhormat itu pastilah berkhianat.

Nyali mikroskopis



Kamu tak punya alat transportasi, tapi tak menyusutkan langkahmu untuk mencari nafkah untuk keluargamu. Kamu mungil. Tapi nyalimu menjulang setinggi gunung. Mengisi perutmu tak pernah mudah, tapi kamu cukupkan rejekimu dengan membagi hasil tangkapanmu dengan teman - temanmu.


Manusia seharusnya malu. Konon katanya kami punya akal. Tak sepertimu yang katanya hanya punya nafsu. Dia serakah. Jangan kan berbagi, Dia justru tak segan berbuat curang dan ambil bagian orang lain. Dia malas, dan punya sejuta alasan untuk tetap berbaring dalam kemalasannya menunggu rejeki datang.


Buatmu, aku yang mematung di sebelah bongkahan tangkapanmu ini adalah raksasa. yang siap memencetmu kapan saja. Tinggal lah berita duka untuk keluargamu. Kamu mati diinjak kelingking sang raksasa. Tapi sungguh itu tak menyiutkan langkahmu untuk memecah bongkahan roti dan membawanya pulang untuk keluargamu.Meski ada aku yang sedari tadi memelototimu.

Dalam lipatan - lipatan tubuhmu yang mikroskopis, kamu adalah pemimpin. PEMIMPI yang punya senjata huruf "N" diujungnya. NYALI. Itu yang membedakan kamu dengan manusia - manusia seperti saya. Raksasa, namun kadang nyali kami jauh lebih mikroskopis dari tubuhmu. 

Cermin dan persimpangan



Dia sudah sampai di perempatan kesekian. Ia bergumam pelan, semoga perempatan terakhir
Seperti persimpangan sebelumnya, masih menggemgam cerminnya, dia melangkah pelan. 
Pagi mulai beringsut - ingsut bangkit dari selimut kabut. Meretas, dan lamat - lamat persimpangan terlihat jelas.

Ada tiga jalan membentang berbeda arah, dan kebimbangan mulai berarak dari persimpangan di dua bola matanya ke dalam hatinya
Belok kanan, cahaya lampu jalan berpendar, belum dimatikan
Belok kiri, ada gedung - gedung tinggi. Jalan itu cuma kenal dua situasi. Sepi sekali, atau ramai sekali.
Lurus, ada papan besar, ucapan selamat datang. Datang kemana? sayangnya petunjuk ada di balik papannya. 

Tapi yang dia lakukan justru diam ditempatnya. Ia sungguh lelah. Sudah banyak persimpangan yang ia lewati. Ia abaikan.
Dimana yang dia temui adalah jalan yang selalu asing. Kadang ramai kadang sepi. Kadang dia takut.
Tapi yang penting baginya adalah berjalan. Entah belok kanan, kiri atau lurus, yang penting ia berjalan. 
Terus berjalan. Dan ketika ia mendapati jalan buntu, maka ia angkat cerminnya dan dia punya jalan untuk langkahnya
Ia berjalan mundur

pic: http://www.yanidel.net/
Masih dipersimpangan.Tapi dia masih tak bergeming dari duduknya. Kanan kiri menari, tapi baginya jalan buntu. 
Hatinya yang buntu

Persimpangan ini membutuhkan cermin. Tapi kini baginya cemin adalah kebuntuan baru, karena dengan cermin, ia tak pernah sampai di ujung perjalanan.  Cermin menyelamatkanya dari kebuntuan, namun mengantarnya pada persimpangan yang lain. Cermin ini adalah tempat ia lari, dari hal yang ia benci. Memilih


Persimpangan dan cermin
Ia mulai berjalan dan meninggalkan cermin di persimpangan.