header-photo

Life in Flower Land


Dalam dunia imaginasi saya, tak perlu rumah mewah, mobil mewah dan segala harta benda. Tapi bercita - cita ingin punya rumah ditengah taman bunga bak dongeng anak - anak. Masih boleh kan berminpi ala princess?

Kecintaan saya pada bunga entah sejak kapan. Berawal dari seringnya mengunjungi rumah guru SD buat bimbingan belajar. Rumahnya mungil, maklum rumah dinas, tapi sekelilingnya bunga dan tanaman dimana-mana. Nyaman rasanya. Tiap keluar rumah langsung timbul semangat karena mata dimanjakan dengan kesegaran alam. Ada suara gemericik air mengalir. Surga dunia lah pokoknya. Cinta pada bunga ini makin menjadi - jadi sejak saya menemukan pasar bunga yang bernama Rawabelong. Tak terkatakan lah bahagianya setiap kali saya ada disana.

Sayang orang tua dan saya beda selera. Buat ayah dan ibu, taman, bunga, kolam dan semacamnya itu nomer dua. Yang penting penghuninya ga kena panas ujan aja. Udah, cukup. Mau perabot taruh mana, warna korden ga matching sama sofa dan lain - lainnya. yang penting ada. ga pusing dengan estetika. keindahan bukan concern utama. karena saya bukan sponsor utama, malah pihak yang disponsori, apalah daya bargaining power saya kecil saudara - saudara.

Jadi, impian rumah idaman itu hingga saat ini belum terwujud. Rumah dengan saung dari kayu di kaki gunung, dengan taman bunga sekeliling. Tak perlu besar. Tapi cukup untuk menampung beberapa anak mungkin belasan bermain dan belajar disana. Bukan anak saya saja (nanti) tapi juga orang - orang lingkungan sekitar. Cita - cita besarnya, di Flower Land tadi, hidup saya dengan keluarga kecil, beserta anak - anak desa yang saya didik agar menggenggam erat cita citanya. Jadi apa saja terserah mereka, saya adalah penjaga sekaligus pembangkit optimisme agar anak - anak lugu itu tetap bercita - cita. Yang ketika itu, semoga cita - cita bukanlah hal yang langka. Yang ketika itu, entahlah negara kita makin semrawut atau sudah lebih baik. 

Rumah ini terlalu besar, namun ada dikaki gunung ijen lengkap dengan bunga ala belanda.


Ketika Kotak Amal Kosong, Kemana Perginya?


Alkisah petugas pengambil kaleng amal tertunduk lesu karena hasil amal para jamaah merosot tajam. Diantaranya justru mengambalikan kaleng amalnya. Para jamaah curiga hasil pengumpulan amal dikorupsi oleh pengurus masjid. Renovasi masjid tak kunjung usai, sedang amal tak pernah kurang diberi. Petugas amal juga dituduh sebagai koruptor kaleng amal. Petugas amal yang sedih itu bertanya dalam diam. Jika benar hasil amal dikorupsi, apa mogok amal bisa jadi solusi? 

pic: www.flickr.com
Ilustrasi diatas merupakan gambaran mengenai kondisi para “jamaah” yakni wajib pajak yang enggan membayar pajak karena adanya mistrust terhadap pengelolaan pajak. Seperti para jamaah masjid yang mogok isi kaleng amal, wajib pajak juga melakukan ancaman boikot pajak sebagai bentuk ketidakpercayaan. Namun benarkah boikot pajak ini bisa menjadi solusi? Dimanakah letak permasalahan sebenarnya?

Keletihan masyarakat
Apatisme lahir dari kekecewaan. Boikot pajak muncul sesungguhnya bukan karena motif agama dan kepercayaan – meski memang ada sebagian didorong karena motif tersebut, namun lebih kepada kekecewaan terhadap pengelolaan hasil penerimaan pajak. Masyarakat tentu jengah melihat para pejabat menikmati uang rakyat serta bosan dengan pemberitaan media tentang korupsi. Namun disatu sisi, jalanan masih berlubang sana sini, anak-anak sekolah masih bergelantungan menyebrangi sungai demi mencerahkan masa depan. Terlebih masih ada aparat pajak yang belum hijrah bersama reformasi birokrasi, masih menanggalkan intergitas, kerjasama dengan WP yang tidak jujur mengurangi pembayaran pajak. 

Hal – hal semacam inilah yang menjadi mistrust wajib pajak. Berujung pada tanda tanya besar, kemanakah uang pajak yang terhimpun ratusan triliun itu? Kekecewaan mulai mendera. Kelompok pembayar pajak yang tadinya taat, mulai mengendurkan semangat melihat uang pajak yang mereka bayar masih bocor sana sini. Kelompok pembayar pajak yang curang tetap diam, sambil terus mencari peluang bersama petugas pajak yang mau disuap untuk mengurangi pembayaran pajaknya. Kelompok ketiga adalah kelompok yang bukan pembayar pajak, mereka lah yang kemudian teriak dan turun kejalan meminta keadilan. Menyerukan boikot pajak, menuntut para aparat pajak dan mengutuki Direkorat Jenderal Pajak (DJP), sang amil pajak yang malang. Sayangnya mereka salah alamat. Meminta kesejahteraan meningkat namun bersamaan menyeru pada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Padahal. jika sumber pendapatan negara ini surut, sulitlah mewujudkan keinginan rakyat agar keran – keran subsidi terus dialiri. 
pic: /ideguenews.blogspot.com

mendengarkan dengan hati


Petang itu, sebenarnya hanya ingin mampir maghrib karena adzan sudah berkumandang, tapi selesai  shalat tertarik melihat backdrop penuh cahaya yang biasa puat tempat foto seleb kalo lagi ada award. Wah, ini pasti ada acara seru nih. Niat pulang akhirnya urung dan lanjut isya di mesjid ini.

u are not touching without a smile
Benar saja, jam 8 malam, para jamaah yang umumnya remaja (saya masuk kategori ini) masjid Sunda Kelapa. Semangat juga yah rupanya. Malam minggu biasanya entah kemana, pindah tempat nongkrong jadi di mesjid. Pasti ada yang spesial. Ada siapa sih?

Tak lama kemudian, pembicara datang. Wah,,Alvin Adam! Bakalan asik nih. Kebetulan beberapa waktu lalu, saya sempat baca profil tentang Alvin Adam dan makin impresed dengan personality serta kemapuan beliau setelah baca profil beliau dimajalah. Cuma penasarana aja, gimana yah kalo ketemu langsung? Secara kampanye pencitraan bener2 ga populis lagi. Udah follow twitternya, dan makin suka. Ga heran dong  dengan kemampuan good listening nya, program TV nya masuk dalam jajaran rating tinggi. 

Setelah ketemu, bener deh. Kayak begini nih orang sukses. Auranya keluar. Semangatnya, dibalut dengan kesantunan, tapi kita  sebagai audience tetap merasa dekat dengan beliau. Taglinenya keren. Keren karena unsur simplicitynya bs dia terapkan bener- bener. “Hanya hati yang bisa mendengarkan kata hati”. Wow, hayo siapa yang ngedengerin curhatan orang trs pengen orgnya cepet selesai ceritanya? Saya! Saya ngaku deh, kalo dengerin WP ngeluh blablabla udah ngalor ngidul langsung ga sengaja berdoa; Ya Allah, udahan dong ni si bapak/ Ibu curhatnya” 

Ini nih yang musti saya asah lagi. Sering ngrasa, ga cocok sm pekerjaan karena saya bukan good listener, not good adviser, impatient, plus selalu kalah narsis dan pede dibanding rekan kerja lainnya. Tapi udah 4 tahun kecemplung, masak terus dibiarin aja gitu ketidakmampuan saya mengurung saya dari masa depan cerah yang gemintang? Beuuuh…sip!! (kepercayaan diri saya udah mulai naik nih)