header-photo

Wajah Muram Sepak Bola Indonesia



Harus saya akui, interest saya pada bola biasa saja. Olahraga yang fenomenal ini, saya anggap hanyalah bagian dari acara televisi, macam sinetron, reality show dan lainnya, tak sewajib berita Metro TV untuk ditonton. Tapi saat World Cup beda cerita dan akhir- akhir ini jadi ingat romantisme saya dan bola saat di bangku SMP. Saat itu geliat bola tak hanya world cup saja. Klub bola kota saya, masih masuk ke divisi satu. Saya masih kerap mendengar berita fanatisme bonek, kegagahan AREMA, sepakbola Indonesia masih ramai diperbincangkan. Geliatnya masih ada meski saya tak pernah melihatnyan menang dilaga manapun.

Delapan tahun lalu
Itulah pertama kali saya kenal dengan sepak bola. Teman saya membagi dimensi sepakbola menjadi tiga, yaitu melihat, membicarakan, dan bermain. Tapi delapan tahun lalu saya punya aktivitas lain dengan bola. IKUT KUIS BOLA DI RADIO. Tiap pulang sekolah yang saya lakukan adalah mengkliping berita olah raga di Jawa Pos, mencatat skor, pencetak gol nama wasit, stadion yang dipakai di buku yang khusus saya bikin untuk meresume apapun tentang piala dunia yang dihelat pertama kalinya di asia itu.
Saya jadi geli sendiri ketika ingat masa- masa itu. Tiap sore saat ibu saya menyapu halaman, menyiram taman dan memasak, yang saya lakukan justru menarik kabel telpon dari ruang tengah ke kamar saya, lalu menelpon radio. Berkejar - kejaran point dengan para pecinta bola yang kebanyakan bapak-bapak itu untuk menjadi pemenang tiap harinya.

Alhasil, saya melahap semua pertanyaan host di radio itu. Tapi setiap saya mengambil hadiah, saya kecewa. Pertama dapat payung, lalu kaos, jam dinding, terakhir kemeja, yang lagi-lagi ukuran bapak-bapak. Akhirnya semua saya kasih ke ayah dan ibu saya, disusul dengan omelan ibu karena akhirnya ibu tahu, anak perempuannya yang bandel itu bukannya belajar untuk Ebtanas SMP, malah ikut kuis bola. Dan saya yakin beliau semakin jengkel saat membayar tagihan telepon. Padahal, motivasi saya saat itu sederhana saja. INGIN MERCHANDISE WORLD CUP Korea-Japan yang tidak dijual di kota saya.

Lalu setelah gegap gembita word cup berakhir, muncul optimisme saya pada persepakbolaan Indonesia. Saya kemudian mengibarkan optimisme, kira – kira begini: “Tahun 2006 Indonesia lolos kulaifikasi dan jadi peserta world cup, Tahun 2010 menjadi peserta yang lolos penyisihan group, Tahun 2014“ menjadi tuan rumah piala dunia”. Agak utopis dibandingkan rencana PSSI menjadi tuan rumah World Cup 2022. Dan saya tersenyum miris ketika menyaksikan world cup tahun ini, menggugah ingatan tentang harapan saya mengenai sepakbola tanah air.

Potret sepakbola Indonesia saat ini


SURAM. Setelah kejayaan era 80an, praktis prestasi sepakbola Indonesia merosot. Medali emas terakhir adalah saat seagames Filiphina 1991. 19 tahun silam! Saat ini, tim nasional hanya mampu meneruskan tradisi ikut piala Asia 200, 2004, dan 2007(tuan rumah) dan gagal ikut di tahun 2011 karena menjadi juru kunci di babak penyisihan. Timnas juga bermain memalukan saat piala Tiger 2004 saat bermain sepakbola gajah, sengaja kalah agar tak bertemu tim jagoan Vietnam. Saat piala kemerdekaan 2008 juga , dalam partai final Libya walkout karena insiden pemukulan pada officialnya, padahal saat itu Libya unggu 1-0. Saat SEA Games 2009, Indonesia dipermalukan Laos dan kini KONI tidak akan mengirimkan tim nasional ke Asian Games 2010 di China. Prestasi terbaik Timnas yang selalu jadi romantisme masa lalu adalah saat kita kalah dari Uni Soviet dan menjadi runner Up Olimpiade Melbourne 1956. Sejatinya, itulah prestasi tertinggi Timnas dalam naungan 73 tahun kepengurusan PSSI.

Dulu saya pikir sepakbola negara kita tidak maju karena negara kita banyak korupsinya, terlalu banyak konflik daerah, tidak maju tekhnologinya, fanatisme berlebih dari pecinta klub, dan orang lebih tertarik bulu tangkis. TAPI SEMUA TERBANTAHKAN negara korup sepeti Argentina, bebeapa kali bawa pulang piala. Negara – negara Afrika yang katanya miskinjuga tak pernah absen ikut world cup. Lalu Amerika yang lebih cinta basket, tim sepak bolanya semakin membaik. Negara baru bekas pecahan seperti Slovakia buktinya bisa mengalahkan Italia. Bahkan, negara yang penuh konflik internal macam Korut berhasil juga menembus kualifikasi. Jadi kesimpulannya KONDISI NEGARA TIDAK BERBANDING LURUS dengan bagus tidaknya sepakbola di negara itu.

Saya sebenarnya berusaha menghindari pembahasan PSSI dan kepengurusan sebagai penanggung jawab utama kemrosotan sepakbola tanah air. Malas memperbincangkan karena sudah mutlak salahnya, dan pasti berujung pada pertanyaan:
“Mengapa reformasi olah raga tanah air tak kunjung dilakukan?”

Kepengurusan beberapa cabang olah raga malah dijadikan tempat menampung para jenderal purnawirawan. Sebut saja PBSI dan PBVI. Bahkan PSSI semua orang tahu dipimpin oleh seorang terpidana korupsi. Jika teman saya bilang akar masalah PSSI adalah salah urus, saya sederhanakan lagi, sepakbola tanah air semakin kuncup dan layu karena SALAH TEMPAT. Orang – orang yang tidak memiliki kecintaan yang tulus kepada bola justru dengan nyaman masih bertenger disana, menutup telinga dan berkata ” Jangan tanya kepada saya kenapa Indonesia kalah, tapi tunjukkan kepada saya bagaimana Indonesia bisa menang”?” saya melongo membaca statement lepas tanggung jawab Nurdin Halid itu di media, dan ingin melempar sepatu ke mukanya. Seharusnya ia mengikuti langkah Ketum PSSI sebelumnya, Azwar Anas yang mundur karena insiden Piala Tiger 2004, saat sepakbola gajah itu.

Sepakbola Indonesia memang sedang muram. Tapi saya tahu, harapan masyarakat tak pernah padam. Saya tahu, betapapun orang Indonesia mengelu-elukan tim eropa, dalam hati pasti terbersit harapan Indonesia kelak bisa menggantikan tempat itu. Dan menjadi jagoan nomor satu rakyatnya. Butuh desakan kuat ke pemerintah agar serius mereformasi olahraga Indonesia khususnya sepakbola. Koordinasi dan seiya sekata untuk mereformasi sepakbola Indonesia mutlak dilakukan PSSI bersama Depdiknas, KONI, dan Kemenpora. Tidak menjadikan sepakbola sebagai penghabis uang negara saja namun bisa menyulapnya menjadi lapangan pekerjaan, sumber perekonomian masyarakat dengan industri sepakbola dan menjadi daya tarik Indonesia di dunia mancanegara.

Saya tak memiliki link apapun dengan dunia sepakbola kecuali harapan yang usang delapan tahun lalu. Dan saya membuat mimpi baru bahwa sepakbola bisa mensejahterakan masyarkat Indonesia. Saya mulai harapan saya dengan menulis pesan singkat kepada Andi Malarangeng, kemenpora lewat twitter: "pak @andimalarangeng, kapan kami bisa bangga dengan persepakbolaan tanah air?"

sumber: disni, disini dan disini
gambar: ini dan ini



I want to jump into last chapter of this war!!


For the umpteenth times, blood drenched for saving Palestine
For the umpteenth times, we heard the infamy act of Israel to Pelestine
And for the umpteenth times, the world can do nothing to solve it.

YES for reactions: protest, fullmanations, demonstrations, prosecutions not only said by middle eastern countries but also the western countries.
But NO for the result of reactions. Nothing can stopped the israel to continue its intention to create their countries.

Last month people in the whole world were shocked by the attacks against humanitarian ships ”Mavi Marmara” on Mediterranean Sea. We know that the ship brought the volunteers, many aids for the refugees in the Gaza Strip. But when the ship entered Mediterranean sea, It was attacked by Zionist armies. They shooted the volunteers who didn’t use any gun! Just like VOC denude the farmer. Ironic, the slaughter happened in 2010, moreover attached into humanitarian mission. Really beyond of my logic!


Conflict History


Balfour agreement (1917) is the beginning of this conflict. Where the British gave the promise to Israel and the state would acquire land legally and legitimized. If it is drawn far back, this conflict caused by manythings . Historical background, religion, holocaust events, making the intention of Israel to make the state itself increasingly unstoppable. Realization of the Israel State which stretches from the Mediterranean Sea up to Iraq. Has lasted approximately 62 years old. And it won’t be ended before jewish racial hegemony mission perfectly has been formed.

how to response a lie

Bismillah,,
Motivated by my friend who tried writing in English, Let me practice too!

Well i would like sharing bout my trip last night with my friend. He was a victim of love, hurt man by a woman. Broken vow, in engagement. You know somebody who has ever fallen and stand up successfully, he will be stronger in the next. Actually he is not tough enough in the beginning, but he becomes wonderful after. I think he can pass all that pain because he could accept the distinctness and think wisely :)

I've written my opinion that egoism is sumthin that need to be appreciated.(this is negative motivation, not to support someone else to do egoism, because egoism is not reserved to be achieved). Yeah, in my humble opinion to do egoism act, somebody must pass inner conflict, feel big uncomfortable guilty and must predict the effect until execute the act. And last nite while the train went running,he gave me other further wise opinion.

Something that i remember clearly, when he said: "If you know your couple lies, try to calm and believe him. Because when he lies, he feels two guilts. His act, and his untruth. Do not force him to realize at same time by judge him."

Great! two points..
These were my conclusions. First When your couple get mad on you cz ur indictment of lie. It means u has done egoism act. Everybody has a right to make his/her own improvement of his/her mistakes. Second, When u try to believe it means you try to support her/his own improvement.

But do not to be disappoint, cz that hypothesis still has not to be evidenced. LOL. Well,, i have to go to sleep, today (in the morning) will be full schedule. Walking around with my family in Surabaya.. hm,, how nice this vacation:)
ok, nite,,

Pesan untuk anakku, dari guruku



Diantara anda semua yang ada disini, saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak disini.Saya merasa berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah tiga. Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka disitu saya menang. selengkapnya

Itulah cuplikan pidato orang yang selama empat tahun ini, cukup menginspirasi saya dalam hal integritas pada negara. Jika nanti saya punya anak, saya akan memasukkan cerita ini saat saya menemaninya belajar sejarah. Bahwa pernah ada suatu masa dinegeri ini, disaat kemewahan reformasi sudah dapat dinikmati, manusianya justru tidak ingin beranjak dari watak stagnansi. Kebenaran didepan mata namun ditepikan karena hati buta, karena menerima kebenaran masih sama tidak siapnya seperti menerima perubahan.


Yah, sambil bercerita sedikit tentang guru saya itu, saya juga sedikit berpetuah (membayangkan masanya sudah layak mengajari) bahwa yang pertama anak saya nanti harus: Belajar untuk mendengarkan hati nurani. Setiap manusia saya kira harus kembali ke fitrahnya sebagai "makhluk yang bernurani". Dan saya tahu, meski mutklak diberi sepaket saat penciptaan, pemakaiannya juga perlu latihan dan pembiasaan. Agama adalah cara, seorang manusia bisa bertemu dengan penciptanya dalam bilik nurani.

Kedua, yang saya susupkan ke alam bawah sadar anak saya adalah jangan pernah merasa lelah dalam belajar. Ilmu apa saja. Bodoh tentu saja bukan takdir, tapi bisa jadi itu jenis penyakit yang sulit disembuhkan. Maka vaksin rasa ingin tahu harus disuntikkan dahulu sejak ia balita, kalau perlu saat di kandungan agar ia tak kena virus insensitive. Peka terhadap sekitar dan terus berpikir tidak atas dirinya sendiri

Dan yang terakhir adalah belajar mensinergikan keduanya. Mungkin, saat anak saya tumbuh besar, tiga hal ini makin langka dimiliki oleh manusia Indonesia. Saya ingin anak saya pandai, itu pasti. Tapi saya tidak ingin kepandaian anak saya justru mencederai bangsa karena tergerus arus jahiliyah karena nuraninya tak terasah benar. Saya ingin anak saya berbudi, beretika dan memiliki integritas. Namun saya tidak ingin kebaikan anak saya tak bermanfaat banyak untuk negeri hanya karena ia tidak memiliki kapasitas dan kecapakan ilmu yang dibutuhkan di masa ndatang. Dan yang juga saya harapkan, tiga unsur tadi tidak menjadi langka di masa mendatang, tapi justru tumbuh subur bak jamur di musim hujan.

Saya yakin itu bisa. Dan memang seperti itulah seharusnya mayoritas manusia Indonesia. Tidak seperti saat ini, landscapenya penuh sesak dengan orang2 yang sudah menanggalkan etika bersikap seperti para politikus rakus dan pejabat publik tengik. Saya jadi ingat pidato guru saya membuat saya tergugah untuk optimis seperti beliau:


Banyak sekali aparat yang betul-betul genuinly adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta republik sama seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani, mereka punya harga diri. Dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin mereka tidak bersuara karena mereka adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak tapi harus bekerja. Sebagian kecil adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan sangat senang untuk meng abuse. Tapi saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik dan terhormat. Saya ingin tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang ini untuk dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat. Sehingga landscape negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi dengan seolah-oalh menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk dan runtuh.


Manusia cerdas dan beretika adalah gambaran ideal untuk saat ini buat saya. Dan itulah yang saya inginkan untuk generasi penerus saya (mungkin seiring berjalannya waktu, saya menambah standard ini :) tapi untuk sekarang, sudah cukup idela dengan 3 unsur). Sehingga kita bisa bekata jujur, dengan memilih kata yang tepat. Bertindak benar, tanpa menepikan unsur kepantasan. dan seperti kata guru saya itu:
"
Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka disitu saya menang."

Turunkan Topengmu, Cukuplah Allah menjadi Saksi


Tadi malam, untuk pertama kalinya, saya mendengarkan tausiyah dari Aa Gym. Karena ada satu dan lain hal, saya tidak mendengarkan sedari awal. Seperti biasa, Aa memberikan siraman rohani yang sederhana, namun begitu membumi. Mampu membuka kesadaran yang mungkin selama ini ingin ditutupi, dibungkus, ditepikan, karena semua berhubungan dengan niat dalam hati. Sedalam apapaun ilmu seseorang, yang tahu niat atas perbuatan hanya pelaku dan pencipta Nya saja. Begitu tersembunyinya benih niat itu, hinggga ia menjelma sebagai wujud yang bisa berubah ubah sesuai dengan kehendak pemiliknya. Dan itu bahaya. Jika niat menjadi salah satu unsur penilaian atas amalan, maka itu yang hendaknya disadari dari awal. Supaya kita tidak salah menetapkan niat lalu membungkusnya dengan niat2 lain, yang salah2 bisa mengurangi nilai amalan, bahkan merusak amalan tersebut. Bukan ridho, justru murka Allah yang didapat. Bukan senang, malah benci yang menjadi akhir persepsi.

itu baru prolognya...
saya mengutip hasil resume teman yang juga hadir malam tadi bahwa pada dasarnya manusia selalu ingin menjadi lebih baik dari kondisi awal, atau kondisi sebelumnya. Lalu mendorong kita untuk berusaha terlihat baik dan sempurna. hal itu kemudian yang menyebabkan terkadang kita terbelenggu dengan penampilan dan penilaian orang terhadap kita.

tanpa sadar mungkin setiap apa yang kita lakukan, selalu terbersit
"bagaimana ya pikiran si "fulan" atau "teman2fulan" jika saya berbuat seperti ini?
Hidup seperti itu, sangat melelahkan. Karena setiap detik, setiap amal disisipi dengan pikiran, bagaimana tanggapan orang, penilaian orang terhadap kita. Manusiawi memang. Tapi jika hal tersebut kemudian meminggirkan sang penilai utama Allah SWT, maka ini bisa disebut pembiasan niat. Karena riya' merupakan bentuk syirik kecil. Oleh karena itu bisa juga disebut orang yang mempermainkan agama.

Jujur,, saat mendengar hal ini, saya tertegun. Astaghfirullah.. benar sekali ya....

Jikalau kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah demi membuat orang lain senang maka Allah akan murka kepadanya dan membuat orang lain tersebut menjadi benci kepada kita. Namun apabila kita melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah awal orang lain tidak suka, maka Allah ridho dan dapat membolak balik orang yang tidak menyukai kita sehingga menjadi suka.

padahal,, padahal,, yang sangat sering kita lakukan adalah melakukan sesuatu agar orang lain senang. Dan tanpa sadar menabrak apa yang tidak disukai Allah.

Apabila kita semangat melakukan yang terbaik, maka motivasi utama adalah karena Allah menyukai umatNya yang melakukan yang terbaik

Apabila kita membantu teman kita meski tidak ada yang melihat, maka motivasi utama adalah karena Alah menyukai umatnya yang menolong orang lain, dilihat maupun tidak dilihat.

Apabila kita melakukan segala amalan, maka hendaklah kita memerikasa terlebih dahulu dihati kecil kita, hendak dinilai oleh siapa. Wakaffa billahi syahida . Cukuplah Allah menjadi saksi..

wakafa billahi waliyya, wakafa billahi nashiiro,,,

(semoga tulisan ini dibuat,dipostkan hingga dibaca orang karena Allah, dan agar memanjangkan ingatan atas tausiyah semalam, Amin...)

Papan Tulis



Jadi teringat dua kata ajaib itu setelah berbincang dengan sesorang pagi tadi.. Wanita separuh baya. Anggap saja ia seorang Kakak. Karena aku memangilnya dengan sebutan "mbak".

Suatu hari, aku mengunjungi beliau di sudut kecamatan, bagian kota kecil di Bondowoso, Jawa Timur. Bondowoso nya saja sudah terpencil, apalagi ini masih dipelosoknya. Dirumah kontrakan beliau yang sangat sederhana, aku melihat ada plastik berukuran sekitar 2x2 meter yang ditempel di dinding rumahnya yang sudah bopel - bopel. dengan heran aku bertanya

"Untuk apa plastik ini mbak? apa kalau hujan airnya merembes menembus dinding?"
lalu kakak menjawab sambil tertawa,,
"Itu pengganti papan tulis Dek,belum sempet beli..lagian harga papan tulis ternyata mahal.."


Aku baru tahu selama ini ternyata selain jadi guru sekolah yang baru berdiri, kakak juga mengajar anak - anak kecil di sekitar rumahnya. Mengajar apa saja.. dari anak SD, SMP, SMA. Kebetulan suami beliau guru matematika, jadi kalau ia kewalahan, suaminya bisa men-takeover..

"Berapa orang mbak yang les? disni les kayak gitu bayarnya berapa ya mbak?"
Tanyaku ingin tahu. Karena setauku, meski kakak berprofesi sebagai guru yang katanya bisa pulang cepet dan kerjaan santai, ternyata kakak cukup sibuk juga di sekolah.

"Hehehe..ini gratis Dek, bayarannya bukan uang.." jawabnya lepas saja tanpa beban
"Lah lalu bayarannya apa mbak?", tanyaku penasaran

"Ya pada dasarnya gratis, tapi kadang sebagai rasa terima kasih anak2 itu bawa kue, buat dimakan dan dibagi ma temen2nya yang les juga, itung - itung cari amal jariyah.."

Sungguh,, malu aku mendengar kata - kata kakak ini. Aku dulu pernah membanggakan kepadanya saat aku masih kuliah berapa bayaranku 1 kali pertemuan les privat. Padahal sebenarnya uang kiriman ayah ga pernah kurang setiap bulannya.Yang lebih membuatku malu, gaji kakak saat itu kurang lebih sama dengan uang kiriman dari ayah. Tapi aku selalu merasa kurang. Sedang kakak ini, jelas kebutuhan setelah menikah lebih banyak, tapi ia masih menyempatkan diri beramal sebisanya, dengan ilmu.

Aku masih temenung menatap "plastik tulis" di tembok bopel itu, ada banyak coret2 spidol rumus2 kimia, sebelahnya rumus2 matematika. Aku jadi ingat dulu ketika kakak ini masih kuliah, beliau ga mau jadi guru. Tapi yang musti ia hadapi saat belajar mengajar pertama adalah murid authis.. murid keduanya adalah aku, yang keras kepala kayak batu..

"Kenapa masih diliatin? jangan salah, dulu papan tulis Ayah juga lebih jelek, temboknya juga gedhek tapi yang dateng belajar ngaji juga banyak.. Kamu waktu itu masih kecil banget, paling kamu ga inget"

Aku terhenyak, benarkah? sekelebat ingatan membawaku pada siluet masa silam, 20 tahun lalu mungkin.. tapi tak sepenuhnya mozaik itu berhasil ku unduh dan ku unggahkan kembali..cuma sepotong - sepotong saja. Rumah gedhek reyot, dengan papan tulis hitam menggantung kayu penyambung dinding gedhek tadi.. itupun aku ingat karena aku pernah melihat fotonya.. jadi itu rumah ayah dulu yah? rumahku dulu?

Entahlah,,apa itu namanya. Yang jelas bagian dalam dibalik jantungku terasa panas. Agak perih tapi bukan sakit. Cuma rasa - rasanya saja... Aku tahu kalau saat itu pipiku memerah.. Aku malu...

Kakak ini sebenarnya dari dulu banyak sekali mengajariku,, tapi kadang aku saja yang asik dengan dunia "tumbuh mendewasa" ku. Hingga ajaran2nya yang sederhana nan baik, lewat begitu saja. Ketika masa itu sudah lewat, aku merindunya. Sering aku tertegun dengan apa yang ia ucapkan bahkan lakukan. Sederhana, tapi nyata.. pantas saja ia tak lepas dari aura bahagia.. aku tahu, meski hanya suaranya saja yang hadir. Tapi hanya dengan suaranya itu energi bahagianya sudah dapat tersalur,,

Tadi pagi ia menyempatkan diri menelponku, aku tiba2 ingat saja dengan kunjunganku terakhir kerumahnya saat itu..

"Mbak, sudah ada papan tulisnya?"
"Belum Dik, anak - anak malah lebih suka belajar sambil bermain. Belum sempat juga membelinya di kota. Ga apalah, yang penting anak2 itu senang dan mau belajar...."

Baiklah, mungkin bukan papan tulisnya lagi yang penting. Karena ilmu dan ketulusan itu langsung ditanamkan di hati dan pikiran, tak perlu papan untuk mengabadiakannya barang sesasat. Hati dan pikiran itulah yang merekamnya untuk seumur hidup..

Rush Run Ringing

Hari pertama menjadi agent Inbound Contact Center
Seru sekali, bersemangat menanggapi telp dari Wajib Pajak. Sudah berminggu - minggu berhibernasi mempersiapkan diri..akhirnya sampai juga waktunya melayani Wajib Pajak.

telpon pertama:
saya kerja mbak jual beli saham, SPT apa yah yang dipake?
alhamdulillah masih bisa ke handle..

belum sempet remark ditulis, telpon dah memburu dibelakangnya..
nota retur pake kurs valas yang mana ya, pas FP pertama dibuat atau pas dibuat nota retur?
yang ini masih bisa selamat dari kebengongan.

greeting salam belum di sampaikan, telpon belakangnya juga sudah menyambung
mbak penghasilan saya dari penjualan saham itu kena pajak ga mbak? kan saya sudah dipotong final 0,1%?
.......
sigh,,, mulai berpikir.. kena ga ya? apa dah termasuk penjualan saham...
gimana mbak???, ibunya terus mendesak
mulai panic!!
sudah termasuk ibu,, jadi pajak yang dipotong sudah final..

pertanyaan keempat
pertanyaan keliam
pertanyaan keenam
pertanyaan ketujuh..

huff huff huff...

Ternyata pekerjaan ini tidak mudah,, kayak ada tes lisan tiap hari, kuis setiap saat..Jadi inget kata pak Mario Teguh

"Kita harus berani dihitung cepat untuk tahu kualitas diri kita setiap saat"
ya kira - kira seperti itulah, setiap saat rasanya saya dinilai dari jawaban saya, dari cara menjawab saya, dari bagaimana saya memperlakukan penelpon..dihitung begitu cepat sebagai tampilan institusi saya. Ketika saya tak tampil prima, maka dengan cepat masyarakat akan menilai tidak hanya saya, tapi juga institusi saya kurang memuaskan juga.


Rasanya belum terbiasa saya dengan ritme seperti ini, bekerja begitu cepat, dan penilaian langsung, beyond my proportion. Banyak atribut ternyata yang melekat pada saya yang turut serta dalam penghitungan cepat itu.. Baiklah, jika harus begitu, tak apa saya dinilai beyond my proportion, ill give u beyond my capability. Sudah basi memberi yang terbaik. saatnya memberi yang lebih dari kemampuan. Semoga ini tidak menjadi sejarah semagat saja, tapi terus terpelihara. Hm,,, sounds good right?