header-photo

Papan Tulis



Jadi teringat dua kata ajaib itu setelah berbincang dengan sesorang pagi tadi.. Wanita separuh baya. Anggap saja ia seorang Kakak. Karena aku memangilnya dengan sebutan "mbak".

Suatu hari, aku mengunjungi beliau di sudut kecamatan, bagian kota kecil di Bondowoso, Jawa Timur. Bondowoso nya saja sudah terpencil, apalagi ini masih dipelosoknya. Dirumah kontrakan beliau yang sangat sederhana, aku melihat ada plastik berukuran sekitar 2x2 meter yang ditempel di dinding rumahnya yang sudah bopel - bopel. dengan heran aku bertanya

"Untuk apa plastik ini mbak? apa kalau hujan airnya merembes menembus dinding?"
lalu kakak menjawab sambil tertawa,,
"Itu pengganti papan tulis Dek,belum sempet beli..lagian harga papan tulis ternyata mahal.."


Aku baru tahu selama ini ternyata selain jadi guru sekolah yang baru berdiri, kakak juga mengajar anak - anak kecil di sekitar rumahnya. Mengajar apa saja.. dari anak SD, SMP, SMA. Kebetulan suami beliau guru matematika, jadi kalau ia kewalahan, suaminya bisa men-takeover..

"Berapa orang mbak yang les? disni les kayak gitu bayarnya berapa ya mbak?"
Tanyaku ingin tahu. Karena setauku, meski kakak berprofesi sebagai guru yang katanya bisa pulang cepet dan kerjaan santai, ternyata kakak cukup sibuk juga di sekolah.

"Hehehe..ini gratis Dek, bayarannya bukan uang.." jawabnya lepas saja tanpa beban
"Lah lalu bayarannya apa mbak?", tanyaku penasaran

"Ya pada dasarnya gratis, tapi kadang sebagai rasa terima kasih anak2 itu bawa kue, buat dimakan dan dibagi ma temen2nya yang les juga, itung - itung cari amal jariyah.."

Sungguh,, malu aku mendengar kata - kata kakak ini. Aku dulu pernah membanggakan kepadanya saat aku masih kuliah berapa bayaranku 1 kali pertemuan les privat. Padahal sebenarnya uang kiriman ayah ga pernah kurang setiap bulannya.Yang lebih membuatku malu, gaji kakak saat itu kurang lebih sama dengan uang kiriman dari ayah. Tapi aku selalu merasa kurang. Sedang kakak ini, jelas kebutuhan setelah menikah lebih banyak, tapi ia masih menyempatkan diri beramal sebisanya, dengan ilmu.

Aku masih temenung menatap "plastik tulis" di tembok bopel itu, ada banyak coret2 spidol rumus2 kimia, sebelahnya rumus2 matematika. Aku jadi ingat dulu ketika kakak ini masih kuliah, beliau ga mau jadi guru. Tapi yang musti ia hadapi saat belajar mengajar pertama adalah murid authis.. murid keduanya adalah aku, yang keras kepala kayak batu..

"Kenapa masih diliatin? jangan salah, dulu papan tulis Ayah juga lebih jelek, temboknya juga gedhek tapi yang dateng belajar ngaji juga banyak.. Kamu waktu itu masih kecil banget, paling kamu ga inget"

Aku terhenyak, benarkah? sekelebat ingatan membawaku pada siluet masa silam, 20 tahun lalu mungkin.. tapi tak sepenuhnya mozaik itu berhasil ku unduh dan ku unggahkan kembali..cuma sepotong - sepotong saja. Rumah gedhek reyot, dengan papan tulis hitam menggantung kayu penyambung dinding gedhek tadi.. itupun aku ingat karena aku pernah melihat fotonya.. jadi itu rumah ayah dulu yah? rumahku dulu?

Entahlah,,apa itu namanya. Yang jelas bagian dalam dibalik jantungku terasa panas. Agak perih tapi bukan sakit. Cuma rasa - rasanya saja... Aku tahu kalau saat itu pipiku memerah.. Aku malu...

Kakak ini sebenarnya dari dulu banyak sekali mengajariku,, tapi kadang aku saja yang asik dengan dunia "tumbuh mendewasa" ku. Hingga ajaran2nya yang sederhana nan baik, lewat begitu saja. Ketika masa itu sudah lewat, aku merindunya. Sering aku tertegun dengan apa yang ia ucapkan bahkan lakukan. Sederhana, tapi nyata.. pantas saja ia tak lepas dari aura bahagia.. aku tahu, meski hanya suaranya saja yang hadir. Tapi hanya dengan suaranya itu energi bahagianya sudah dapat tersalur,,

Tadi pagi ia menyempatkan diri menelponku, aku tiba2 ingat saja dengan kunjunganku terakhir kerumahnya saat itu..

"Mbak, sudah ada papan tulisnya?"
"Belum Dik, anak - anak malah lebih suka belajar sambil bermain. Belum sempat juga membelinya di kota. Ga apalah, yang penting anak2 itu senang dan mau belajar...."

Baiklah, mungkin bukan papan tulisnya lagi yang penting. Karena ilmu dan ketulusan itu langsung ditanamkan di hati dan pikiran, tak perlu papan untuk mengabadiakannya barang sesasat. Hati dan pikiran itulah yang merekamnya untuk seumur hidup..

0 comments: