header-photo

Bangku Kuliah untuk Wita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah penyandang disabilitas melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, Rabu (12/3).
Mereka menuntut dihapusnya aturan ujian Saringan Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri  (SNMPTN) 2014 yang kaum difabel tidak bisa mengikuti ujian beberapa jurusan yang berada di pergururan tinggi negeri. (Rabu, 12 Maret 2014, 19:02 WIB)


Para penyandang disabilitas ini memprotes persyaratan yang dicantumkan di website SNMPTN (www.snmptn.ac.id) untuk beberapa jurusan tertentu. Persyaratan tersebut antara lain:

1. Tidak tuna netra
2. Tidak tuna rungu
3. Tidak tuna wicara
4. Tidak tuna daksa
5. Tidak buta warna keseluruhan boleh buta warna sebagian
6. Tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian 
7. Lihat persyaratan khusus di website PTN

Penempatan persyaratan ini sebenarnya wajar-wajar saja asal pada jurusan yang tepat. Misalnya untuk jurusan IPA. Sulit rasanya bagi penderita tuna netra untuk kuliah di jurusan biologi atau kimia. Atau misalnya sastra yang mengharuskan mahasiswanya mampu berkomunikasi aktif sehingga mensyaratakan nomer 2 dan 3. Namun di tahun ini ada yang berbeda. Karena ada miskoordinasi, beberapa universitas menetapkan sepihak syarat-syarat per jurusan. Selain tidak dikoordinasikan dengan Kementrian Pendidikan, pencantuman syarat-syarat tersebut juga belum dikonfirmasi kepada rektor universitasnya.

Hal ini terbukti ketika di program Suara Anda Metro TV (Rabu, 12 Maret 2014), Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) misalnya yang mengatakan ada kesalahan unggah yang seharusnya tidak mencantumkan syarat-syarat yang tidak tepat bagi jurusan-jurusan di universitasnya. Menteri Pendidikan juga mengatakan hal ini tidak seharusnya terjadi, dan berjanji akan mengevaluasi pencantuman persyaratan yang tidak tepat tersebut. 

Syarat kepesertaan SNMPTN dari Universitas Negeri Jakarta. Sumber : www.snmptn.ac.id (diakses 21 Maret 2014)
Namun hingga seminggu berlalu, website masih belum berubah. Masih mencantumkan persyaratan panjang bagi peserta. Seperti jurusan sosiologi di UNJ yang menghendaki lengkap syarat 1,2,3,4,dan 6. Padahal di Universitas Indonesia misalnya, mahasiswa tuna netra bisa mengambil jurusan Hukum dan Sastra.


Kuliah yang kita anggap sebagai proses lumrah, dan mudah untuk dijalani ternyata tidak begitu bagi para penyandang disabilitas.Tidak cukup keterbatasan yang sudah mereka terima sebagai takdir, pembatasan untuk belajar tentunya makin mempersempit ruang gerak mereka.

Seketika saya ingat peristiwa dua tahun lalu
Namanya Wita
Jika dalam tatanan persaudaraan, dia adalah keponakan. Anak dari sepupu. Tapi umur kami tak beda jauh. Dulu setiap mudik dan sowan ke rumah budhe, aku mengenalnya sebagai bocah yang super ceria, aktif dengan tubuh yang sehat gempal. Matanya bersinar menegaskan pribadi yang kuat dan cerdas. Namun semenjak SMA, durasi mudik ke rumah nenek di Bojonegoro semakin singkat, dan beberapa tahun aku tak lagi bertemu dengan Wita. Prediksiku, Wita pastilah tumbuh menjadi gadis yang sukses berprestasi. 
Sampai suatu pagi Ibu menelpon.
"Lia, kamu inget Wita kan? dalam waktu dekat dia mau ke Jakarta"
"Oh,, iya bu, mau liburan tah bu?"
"Nggak, tapi mau sekolah..."
"Wow,, loh bukannya harusnya udah kuliah? mau daftar dimana? nanti lia carikan info universitasnya. Dia kan pinter, bisa masuk mana aja"
"Iya, tapi sekarang..... Wita ga bisa lihat, penglihatannya memburuk dan mendekati buta"

Aku tercekat. 

Dan beberapa waktu kemudian, dia datang ke Jakarta. Seperti yang sudah diinstruksikan Ibu, aku menyiapkan kamar disebelah kamarku, yang kebetulan kosong. Sementara dia tinggal bersamaku sampai dia dapat sekolah yang tepat. Menjumpainya dengan kondisi yang diceritakan Ibu, sebetulnya sungguh tidak tega. Wita tumbuh besar, badannya sehat. Namun kilatan cahaya di matanya tak ada lagi. Seperti penyandang low vision yang lain, bola matanya mengecil dan warnanya kabur. Tidak tegas bulat hitam dan putih. Beberapa menit pertama aku masih bingung mau bicara apa. Tamuku kali ini jelas istimewa. Kebingunganku beradu dengan rasa perih yang kurasakan setiap melihat matanya. Duh Gusti, kenapa Wita?

Beberapa tahun tak bisa melihat, membuat Wita cepat beradaptasi. Beberapa hari diawal, aku sangat takjub dengan kemampuannya. Dalam berkomunikasi,  mengidentifikasi makanan, mencuci bajunya, memasak nasi, membersihkan kamar. Dihari-hari berikutnya rasa pedih ku tiap kali melihat matanya berangsur hilang karena dia punya senyum yang siap merekah kapan saja.Tidak hanya selalu riang, Wita juga lucu. Ketika bercerita pasti ada sesi tertawa.

Yang mengejutkan dari Wita adalah kecintaannya pada buku. Tak disangka, Wita punya hobi membaca. Tapi, bagaimana bisa? Satu-satunya yang masih bisa dia lihat adalah kilatan cahaya yang betul-betul terang. Selebihnya, gelap. Ternyata, hobi baca sejak ia kecil itu tak putus arang hanya karena penglihatannya yang terbatas. Kini dia membaca tidak dengan mata, tapi dengan pendengarannya. Kakak dan teman-temannya lah yang membacakan lembar demi lembar koleksi bukunya. Buku-buku serial yang tebal pun dia tetap bisa menikmati. Dari sini saya tahu betapa orang-orang begitu sayang dengan Wita. Pernahkah kalian membacakan buku setebal Harry Potter kepada orang lain? pasti butuh waktu yang tidak sedikit bukan?

Suatu hari, sang kakak mengajakku ke pameran edukasi eropa. Sang kakak memang sudah pernah menjelajah ke beberapa negara eropa. GRATIS. Modal paspor. Dapat sponsor. Dari sana, ia tahu bahwa negara-negara di eropa memberikan kesempatan pendidikan yang lebih besar untuk penyandang disabilitas. Awalnya aku tidak percaya, sampai akhirnya aku mendengarkan sendiri percakapan dari para representative dan sang kakak di tiap-tiap stand. Dengan telaten, sang kakak mengunjungi satu demi satu stand, satu negara ke negara lainnya. 

Sang kakak tidak sekedar datang memungut brosur seperti yang kulakukan.
Dia mencari harapan. Memilin masa depan untuknya dan sang adik
Yang enggan menyerah pada keterbatasan.

Jadi ingat ketika sang kakak pertama kali datang menuju kosku. Di kantongnya tersisa lima ribu rupiah saja. Itupun habis dia beri ke tukang ojek yang membawanya sampai kos. Dia bawa ransel kecil berisi beberapa potong baju dan ijazah untuk cari pekerjaan. Menyusul kemudian sang adik yang datang. Tujuannya sederhana. Ingin sekolah. Hal yang tidak bisa ia peroleh di kota kecil Bojonegoro. Ayahnya, orang tua tunggal yang tersisapun tidak mendukung cita-cita sekolahnya. Jadilah mereka berdua ini perantau nekat. Minggat untuk menggapai mimpi yang mereka yakini luhur dan benar. 

Tapi bangku kuliah untuk Wita bukan perkara yang mudah. Bukan semata-mata mencari universitas yang bisa menerimanaya. Tapi memastikan dia bisa bertahan sampai akhir. Ketika itu, beberapa universitas di Jakarta memang membuka kesempatan bagi tuna netra untuk tetap kuliah untuk jurusan-jurusan tertentu. Tapi kuliah tidak sekedar datang, mendengarkan dan pulang bukan? Karena akan berbaur dengan mahasiswa lain, maka kemampuan mengoperasikan laptop dan komputer minimal harus dikuasai. Tugas kuliah tak mungkin ditulis dengan braille. Belum lagi dengan textbook dan bahan kuliah. 

Beruntung sang kakak yang gigih mencari peluang, menemukan yayasan yang bernama MITRA NETRA (www.mitranetra.or.id) yang kemudian menjadi sarana pembelajaran untuk Wita. Tidak hanya kemampuan dasar seperti bagaimana menggunakan tongkat, mengenali objek, dan membaca huruf braille, Mitra Netra juga mengajarkan cara mengoperasikan laptop, komputer dan gadget bagi penyandang tuna netra dan low vision. Lebihnya lagi, banyak ekstra kulikuler yang  bisa diikuti. Kegiatannya juga macam-macam. Yang paling penting, yayasan ini tidak memungut biaya bagi para pesertanya. Yayasan ini pernah juga diliput oleh Kick Andy dan Wita menjadi salah satu murid yang diwawancarai.
 
Salah satu kegiatan Mitra Netra. Sumber : www.mitranetra.or.id

Seperti spons kering, Wita menyerap sebanyak-banyaknya ilmu disana. Dari hardskill hingga softskill. Tak heran, beberapa bulan saja dia sudah mahir memainkan biola, keyboard dan gitar. Karena jarak yang cukup jauh dari kosku ke tempat Mitra Netra yang berada di kawasan Fatmawati, akhirnya Wita memutuskan untuk kos. Berat rasanya harus meninggalkan Wita sendirian di sana. Terlebih sang kakak juga tidak bisa menemani. Kakaknya kini tinggal di Cengkareng. Berkat upaya gigih dan kemurahan Allah SWT, sang kakak diterima kerja di Garuda Indonesia. Tempat kerja impiannya yang bisa membawanya terbang kemanapun ia mau. 

Kini Wita tinggal sendiri. Kemauan dan niat yang gigihlah yang bisa membuat Wita bisa berdiri sendiri. Awalnya pasti menghawatirkan. Ibu dan Bapak sampai datang dari Bandung ke Jakarta menengok Wita untuk memastikan kondisinya setelah ngekos sendiri. Alhamdulillah, dia bisa. Dan tak lama kemudian, setlah dirasa cukup bekal dari Mitra Netra dia memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Wita memilih Universitas Muhammadiyah yang lokasinya tak jauh dari tempatnya saat ini. Jurusan yang dia ambil adalah komunikasi. Jurusan yang memang cocok buatnya.

Bulan lalu, aku dan keluarga mengunjungi Wita. Kalau saja tidak bertemu Wita, orang pasti menganggap pemilik kamar kos ini adalah mahasiswa aktif. Tapi memang demikian. Banyak buku, laptop dan tumpukan materi kuliah, bahkan aku bisa melihat beberapa proposal kegiatan tergeletak di kamarnya. Persis seperti kamar aku ketika kuliah. Kubaca sedikit proposalnya. Acara naik gunung. WOW. Adalagi acara lainnya dan Wita bahkan tercantum sebagai ketua pelaksana. 

Sulit untuk menggambarkan bagaimana perasaanku kala itu. 
Bangga dan bersyukur. 

Wita mungkin belum mewujudkan cita-citanya kuliah di Eropa. Tapi apa yang sudah dia raih sejauh ini sungguh membahagiakan. Senyumnya semakin mengembang. Kesempatan belajar betul-betul membuat semangat hidupnya mekar. Aku semakin percaya, bahwa pendidikan bisa merubah nasib seseorang. Lalu kita yang masih menganggap kuliah dalah siksaan, skripsi adalah cobaan, perlu rasanya belajar dari Wita. Allah memberinya keterbatasan di penglihatannya. tapi juga memberi keluasan di hatinya, menerima takdirnya dan mencari cahaya baru. Cahaya Ilmu.







4 comments:

Presiden Direktur said...

Salut ya Ul,,makanya buruan lulus yah,,trus kuliah lagi #gagalpaham

AULIA RAHIMI said...

lah dirimu blm lulus juga? cari tempat kuliah yg gampang2 aje. kan tempat kuliah situ udah terkenal susyeh... IP 2 aja udah alhamdulillah hehe

BAMBANG BUDYONO said...

Mohon info:
saya ingin memperkenalkan mbakWita dengan anak saya.
Anak saya perempuan berumur 18 thn, tidak bisa melihat sejak umur 13 tahun,

saya ingin agar anak saya termotivasi dan bisa kuliah seperti mbak Wita...

BAMBANG BUDYONO said...

info bisa di email ke:
bbudyono@gmail.com

Terima kasih sebelumnya