header-photo

Seseksi Karung Beras


Cantik itu relatif.

Ah basi! Cantik itu absolut. Punya kiteria mutlak yang tak bisa disanggah. Bentuk – bentuk tertentu yang secara paten disepakati menjadi unsur pendukung kategori CANTIK. Kulit halus putih menawan. Hidung mancung bukan ke dalam. Dagu yang berbentuk sedikit cekung dan proporsional. Mata yg tajam, dan bulu mata lentik. Mungkin akan lebih tepat dikatakan bahwa cantik itu di definisikan dalam ranah tertentu. Setiap wilayah, beda kriterianya. Punya lingkup wilayah yang masyarakatnya yang secara diam – diam, atau juga secara ramai bersepakat bahwa cantik itu seperti itu, itu, dan itu.

Lebih – lebih seksi. Lebih banyak lagi itu persyaratannya. Pengorbanannya juga banyak. Maintanancenya tidak kalah sama eksperimen para ahli di laboratorium. Salah takaran, salah treatment, ulang dari awal. Cantik dan seksi itu anugerah sekaligus siksaan buat wanita. Jika terlahir tanpa keduanya, hanya orang – orang istiqomah yang bisa memperolehnya.

Sudah 24 tahun, cermin yang tergantung di ruang makan ini menjadi perekam setia wajah sumringahku setelah makan. Masakan ibuku memang lezat luar biasa. Seberapa kenyangku, jika makanan terhidang, aku lupa kalau sudah kenyang. Menyantap masakan ibu hingga tak bersisa. Sebelum beralih ke camilan di ruang tengah, aku selalu terhenti di depan cermin. Entah kenapa ibu meletakkan cermin panjang ini diruang makan. Hal yang tak biasa. Itu karena cermin ini ajaib.

Cermin ajaib ini layaknya dementor yang sanggup menyedot bahagiasetelah makan masakan ibu. Senyumku yang mengembang itu menguncup, beringsut ingsut bersembunyi dibalik wajah bulat gendut. Ia masuk jauh ke dalam menyusuri lorong – lorong gelap timbunan lemak di badanku yang berlipat – lipat. Cermin ini, jika diberi kesempatan berbicara mungkin dia sebal dan bingung, mengapa setiap aku melihatnya, bibirku maju tiga senti, merengut lalu menghambur pergi.

Aku lari, lari dari fakta tak terbantah. Orang awam hingga berpendidikan tahu bahwa aku tidak normal untuk anak seusiaku. Yang tidak normal adalah berat badanku. Kata dokter aku obesitas. Saat itu aku masih 14 tahun. Punya semua yang kata orang cukup membuatku menjadi anak beruntung. Keluarga yang berkecukupan, prestasi sekolah gemilang dan tentu saja, beruntung tidak busung lapar. Walau perutku tak ada bedanya dengan mereka. Buncit. Tapi aku tak punya satu. Aku tak bisa memakai baju untuk anak seumuranku. Kaos orang dewasa minimal L. Tapi aku tak tau juga caranya untuk berhenti makan.

Sudah sepuluh tahun lalu ketika aku mulai naksir dengan si pemimpin upacara di sekolah. Kakak kelas. Keren, populer, tampan, dan tentu saja memiliki badan yang athletis. Buatku dia memenuhi syarat dalam teritorial umurku bahwa dialah makhluk lelaki sempurna yang pernah ku tahu. Setiap aku lewat depan kelasnya, hatiku rasanya lari. Dia tentu saja tak melihatku, tapi jantungku dag dig dug bermarathon tak karuan. Senang membuncah sekaligus sedih gelisah. Ah, lagi-lagi karena aku gendut! Mana mau dia denganku! Aku kan palem botol dan dia seperti pohon kamboja. Indah menawan.

Samar – samar aku ingat memori masa lalu itu. Dari saat itulah aku mulai mengurangi makan. Entah ada angin apa aku jadi rajin lari – lari pagi keliling komplek. Sambil melirik rumah si kakak kelas, yang kebetulan tetangga. Ahay, setiap dia membuka pagar rumah, melepas gembok untuk membukakan pintu pagar mobil ayahnya, aku sengaja lewat dan menantinya tersenyum. Tapi emakin mendekat rumahnya semakin kencang lariku. Hingga aku tak pernah benar – benar tau dia tersenyum, atau mungkin juga tertawa geli melihat adek kelas tambunnya ini lari – lari seperti bola menggelinding di pagi hari.

“Manda, makan dulu nak. Dari tadi kamu sentum senyum sendiri depan cermin” ujar ibuku.

Makanan sudah terhidang sedari tadi di meja. Tapi aku masih tak beranjak dari depan cermin ajaib. Aku masih mengingat – ingat sejak kapan cermin ini sekarang mampu mengcapture seluruh tubuhku dengan jarak sejengkal aku berdiri. Tak ada selipatan tubuhku pun yang keluar dari bingkai kaca ini. Padahal dulu, sepuluh tahun lalu, dengan jarak tiga ubin marmer ini saja, kaca ini tak muat, aku harus mundur lagi agar bisa melihat seluruh aku. Itupun kadang masih ada bagian – bagian pinggir perut yang bersembunyi di sisi kakan kiri kaca yang terbuat dari kayu.

Ya tuhan, sudah lama sekali itu, dan sudah berubah sekali sekarang.

“Manda, Mas Awan tadi kesini, kayaknya dia pengen ketemu kamu. Sebelum kamu PTT ke luar jawa. Selama kamu koas kan kamu tak pernah pulang nak. Dia tanya, tanggal berapa kamu wisuda koas”,
kata ibuku.

Sama seperti aku, ibuku juga sedari dulu sudah jatuh cinta denagn peminpin upacara sekolah itu

“Kamu ndak bilang kalo pulang? Sepertinya dia tadi kaget ibu bilang kamu pulang, sayangnya pas kesini kamu sedang ke rumah mbahmu”, lanjut ibu.

Sejak aku kuliah di kedokteran, mas Awan jadi sering menanyakanku ke ibu. Padahal dulu, enam tahun satu sekolah, mengobrol di sekolah sepertinya belum pernah. Kita memang beda kelas, beda kasta. Dia siswa idola. Aku? Mungkin kategori lumut cukup representative.

“Mas Awan itu sudah lulus loh Manda dari teknik sipilnya, sekarang kerja di perusahaan minyak. Makin lama tambah guanteng ya?” ibu mulai lagi cerita tentang sang pemimpin upacara.

Sepertinya dia bukan hanya idola di sekolah. Tapi juga idola ibu – ibu di komplek. Ibu tahu dari smp, aku sudah suka sang pemimpin upacara itu. Saat aku masih berbadan tambun, dan menghamba pada proporsional bentuk badan.

Setelah aku kuliah kedokteran, aku belajar bagaimana mentreatment, menjaga pola makan, olah raga teratur dan diet yang benar. Aku tak hanya dapat ilmu, tapi juga semangat untuk menemukan kecerahan hidup baru. Yang dulu selalu tertutup kabut. Kabut obesitas.

Berangsur – angsur lemak lemak itu hilang, berat badanku turun stabil hingga mencapai berat badan normal sesuai dengan tinggi badan. Sekarang, kata orang aku seksi. Andai mereka tau bagaimana aku dulu. Memimpikan beli baju ukuran M saja tak mampu. Apalagi mimpi punya pacar. Lebih – lebih dapat menarik perhatian sang pemimpin upacara.

Namun pernah gendut, sangat gendut, membuatku bersyukur. Empatiku pada teman – temanku yang juga gendut jadi lebih besar. Setidaknya, aku terbiasa untuk melihat orang dari perilakukanya. Tak tergesa gesa memilih teman, pacar, atau mungkin anggota kelompok tim hanya karena ukuran tubuhnya, atau paras wajahnya. Yang dulu kupercaya semua orang bisa seperti itu.

“Oh ya manda, Mas Awan bilang, besok pagi katanya kamu mau diajak ke SMA, katanya pengen jalan – jalan liat SMA mu sekarang. Sudah lama ga kesana. Mungkin pengen reunian berdua “,
Ibuku sumringah sekali, masih bercerita tentang sang pemimpin upacara yang sekarang kerja di perusahaan minyak.

Ibu tidak tahu
Ibu tidak tahu bahwa laki laki itulah yang dulu merobek harapan atas kepercayaanku bahwa semua orang mampu melihat sesuatu dari subtansinya. Bahwa setiap orang yang punya kebihan, atau keistimewaan ganteng dan tubuh proporsional seperti Rahardiawan, bisa memahami bahwa orang yang tak seperti dirinya bukan berarti ia tak bernilai.

Aku masih ingat jelas,
Ketika itu sang pemimpin upacara berada di puncak kepopulerannya. Dia kelas tiga SMA, aku kelas satu. Penggemar nomer satu. Saat itu aku dicalonkan jadi bendahara OSIS. Rekomendari dari para guru. Karena nilai matematika dan akuntansiku ku selalu bagus.

Namun alagkah kecewanya ketika aku dengar sendiri, dia berkata kapada kakak OSIS lainnya saat pemilihan pengurus OSIS. Setengah berbisik, namun masih terdengar jelas olehku.

Masak kita pilih bendahara osis yang kayak karung beras begini. Bendahara harus oke cuy, Malu lah kita sama sekolah lain kalo kumpul osis. Kita pilih yang seksi, cantik. Masalah ga pinter, nanti kan temen – temennya bantuin” katanya sambil tersenyum.

Buatnya aku adalah karung beras. Tidak lebih.

Bilang aja bu, kalo mau nostalgia jangan bawa- bawa karung beras”. Ujarku datar smbil beranjak dari meja makan.

2 comments:

Anonymous said...

Unquestionably believe that which you stated. Your favorite justification seemed to be on the net the easiest thing to be aware of. I say to you, I definitely get annoyed while people think about worries that they plainly don't know about. You managed to hit the nail upon the top and also defined out the whole thing without having side effect , people could take a signal. Will probably be back to get more. Thanks

bima adhitya ngudi saputra said...

ben semangat nulis neh, tak komeni..
iki tandane tulisanmu ki menarik tetep enek peminat sg mengunjungi dan membacanya..aku setidaknya.