header-photo

Hujan

Jakarta pagi ini, HUJAN

Dan pemandangan yang terserak sepanjang jalan adalah macet. Dan kehawatiran berikutnya adalah terlambat masuk kantor. Hujan di Jakarta saya terima dengan perasaan yang berbeda dengan tahun-tahun lalu saat masih tinggal di kota kecil ujung pulau Jawa. Hujan adalah kesyukuran. Ada perasaan bahagia yang menyelusup setika bulir-bulir air satu persatu mulai berjatuhan menciumi tanah dan menerbangkan debu-debu halus. Aroma hujan begitu mempesona. Dulu hujan pun punya cita rasa. Yang menyenangkan, menenangkan. Sama-sama pagi. Sama-sama punya kewajiban di pagi hari yang harus dituntaskan, berangkat sekolah - yang sekarang berganti dengan berangkat ke kantor. Tapi dingin hujan tetap bisa saya nikmati dengan riang. Oh ya, saya juga tak punya jas hujan, jika hujan ya diterima saja sambil kebasahan ke sekolah. Tak ada gerutu, tak ada penyesalan.

hujan punya banyak cerita :)


Pagi ini, seperti pagi - pagi hujan Jakarta sebelumnya, selalu ada perasaaan risau melihat hujan yang datang tiba-tiba dari sebelum subuh. Artinya, saya harus berangkat jauh lebih awal, masih gelap. Bis jemputan kantor bisa jadi tidak datang karena rumah sang supir kebanjiran. Sedih. Lalu diperjalanan, saya lihat tukang sayur langganan ibu yang sudah tua, menggelar dagangannya ditepi jalan. Dia kebasahan, dagangannya sepi, tak ada pembeli. Sedih. Belum lagi di jalan selalu was-was jalanan akan macet. harus cari jalan alternatif. terlebih jika sudah macet dan tag, khawatir bensin mobil kami cukup atau tidak, terlambat absen atau tidak, memikirkan suami apakah bisa menembus 3 in 1 di Sudirman atau tidak. Sedih. Dan yang terakhir ketika buka smartphone dan baca timeline TMC Polda Metro, seketika akan akan terhampar foto-foto banjir, dan macet dimana-mana. Ini bukan sedih lagi, MIRIS. Padahal saya hanya duduk disamping suami, menemaninya menyetir dengan tenang. Tidak kebasahan, tidak kecipratan air dari kendaraan yang melintas yang sering saya alami waktu berangkat sekolah dulu.Harusnya saya bisa menikmati hujan dalam diam. Tapi nyatanya tidak. Dan perjalanan lambat menuju kantor pagi ini membuat saya rindu pada hujan di kota kecil saya. Dimana ketika hujan, ibu membisikkan kata-kata, "kalau hujan turun, jangan lupa berdoa."

We Are One Big Family (Hikayat Staples dan Sortir Negara: Part 2)

Menyukai tempat, pastilah berasalan. Barangkali pemandangannya, bentuknya, warnanya, ornamennya, atau bahkan tetumbuhannya. Namun, daya tarik yang paling kuat dari sebuah tempat adalah orangnya. Bersama siapa kita berada disana. Oleh karena nya, kita kadang rela menumpuh ribuan mil untuk menuju suatu tempat, dengan alasan: menjumpai kenangan.

Merindu penghuni PPDDP (masih dengan bapak Kiesmantoro sebagai Kepala kantor)
Sedang di sisi lain, ada pula orang - orang yang enggan beranjak dari tempatnya, bukan karena betapa mewahnya tempat dia berpijak saat ini, namun mereka enggan untuk melakukan perpisahan, dengan orang-orang yang ada di tempat yang sama. Karena, perpisahan, selalu menguras tenaga.

Dan tempat yang akan kuceritakan kemudian adalah bangunan delapan lantai, yang menampung puluhan ribu dokumen negara dan berdesakan dengan kenangan - kenangan indah kami disetiap sudutnya. Kami, 79 anak - anak muda kala itu datang dengan lugu, dengan baju hitam putih kami yang lusuh berkenalan pertama kali dengan bangunan itu beserta penghuninya. Kubus besar yang gagah menjulang itu, empat tahun kemudian tidak hanya jadi bangunan kaku, namun jadi rumah yang memberi hangat untuk kami. Kami menyebutnya, PPDDP

Bagaimana PPDDP, saya sudah ceritakan di artikel sebelumnya, kali ini saya akan bercerita tentang penghuninya. Mengapa kami sangat sayang, sangat senang dengan PPDDP. Tidak lain karena kehangatan orang-orang disana. Stay tune disini yaa :)

Semeru menggebu


Ketika itu, saya sudah berada di tepi jurang. Ingin menuruni tebing dan nekat menjumpai buih ombak laut jauh di dasar tebing. Dan tak lama dari keputusan saya yang prematur itu, ada sebuah pesan. Yang berdenting menarik perhatian. Kuputuskan untuk mengintip sebentar. 

Naik Gunung yuk, Semeru. Gimana menurutmu?
Dari pada kamu turun sendirian, aku temani kamu memuncak, membuat cita - cita baru.




Dan setangkup rindu pada hawa dingin serta hangat mentari yang begitu disyukuri hadirnya di gunung tiba - tiba hadir. Menggulung keinginan yang tadi membuncah menuruni tebing di depan mata. Berbalik dan mulai melangkah menuju tempat pertemuan. Rindu pada sahabat saya yang seringkali menjadi penyelamat dari keputusan - keputusan yang gegabah dan tidak berarah.

Tapi, naik gunung? sedangkan lift adalah benda yang amat saya idamkan di kampus. Terengah - engah sambil mengutuki manajemen kampus dengan kata - kata yang selalu diulang: kemana uang sumbangan pendidikan saya, hingga kami mahasiswa yang bayar mahal di siksa naik tangga seperti ini.  

Tapi, naik gunung? sedang hal - hal yang bersifat - pengetahuan alam- saya amat sangat terbatas. Naik gunung baru satu kali. Dan lebih tepatnya wisata ke gunung yang tak lebih dari 3000 mdpl.menapaki tanjakan satu demi satu pastilah sesuatu.

dan Semeru?
Ya semua orang tahu. Siapapun yang berhasil menapakkan kaki di puncaknya patutlah berbangga hati. Dan saya pun selalu bertanya - tanya, orang - orang seperti Soe Hok Gie,  mau menantang maut dan dikalahkan oleh ajalnya di gunung itu, pastilah semeru ini memikatnya dengan luar biasa.

Tapi belum apa - apa, entah apa yang membuat saya begitu bahagia dengan membayangkan puncak gunung. Membayangkannya saja sudah melecut semangat. Saatnya lah saya hadir dalam perayaan kemenangan yang sesungguhnya. Yakni perayaan pembuatan cita - cita baru.

Hari itu, dengan hati yang berbahagia, dengan cemas yang juga sedikit merayap saya memulai.

dan Sungguh Tuhan Maha Baik, Dia memberiku banyak bahkan apa yang tak kuminta. Beberapa sempat kutulis dan ingin saya bagi dengan kalian ke beberapa segmen. Semoga sempat. :)


Life in Flower Land


Dalam dunia imaginasi saya, tak perlu rumah mewah, mobil mewah dan segala harta benda. Tapi bercita - cita ingin punya rumah ditengah taman bunga bak dongeng anak - anak. Masih boleh kan berminpi ala princess?

Kecintaan saya pada bunga entah sejak kapan. Berawal dari seringnya mengunjungi rumah guru SD buat bimbingan belajar. Rumahnya mungil, maklum rumah dinas, tapi sekelilingnya bunga dan tanaman dimana-mana. Nyaman rasanya. Tiap keluar rumah langsung timbul semangat karena mata dimanjakan dengan kesegaran alam. Ada suara gemericik air mengalir. Surga dunia lah pokoknya. Cinta pada bunga ini makin menjadi - jadi sejak saya menemukan pasar bunga yang bernama Rawabelong. Tak terkatakan lah bahagianya setiap kali saya ada disana.

Sayang orang tua dan saya beda selera. Buat ayah dan ibu, taman, bunga, kolam dan semacamnya itu nomer dua. Yang penting penghuninya ga kena panas ujan aja. Udah, cukup. Mau perabot taruh mana, warna korden ga matching sama sofa dan lain - lainnya. yang penting ada. ga pusing dengan estetika. keindahan bukan concern utama. karena saya bukan sponsor utama, malah pihak yang disponsori, apalah daya bargaining power saya kecil saudara - saudara.

Jadi, impian rumah idaman itu hingga saat ini belum terwujud. Rumah dengan saung dari kayu di kaki gunung, dengan taman bunga sekeliling. Tak perlu besar. Tapi cukup untuk menampung beberapa anak mungkin belasan bermain dan belajar disana. Bukan anak saya saja (nanti) tapi juga orang - orang lingkungan sekitar. Cita - cita besarnya, di Flower Land tadi, hidup saya dengan keluarga kecil, beserta anak - anak desa yang saya didik agar menggenggam erat cita citanya. Jadi apa saja terserah mereka, saya adalah penjaga sekaligus pembangkit optimisme agar anak - anak lugu itu tetap bercita - cita. Yang ketika itu, semoga cita - cita bukanlah hal yang langka. Yang ketika itu, entahlah negara kita makin semrawut atau sudah lebih baik. 

Rumah ini terlalu besar, namun ada dikaki gunung ijen lengkap dengan bunga ala belanda.


Ketika Kotak Amal Kosong, Kemana Perginya?


Alkisah petugas pengambil kaleng amal tertunduk lesu karena hasil amal para jamaah merosot tajam. Diantaranya justru mengambalikan kaleng amalnya. Para jamaah curiga hasil pengumpulan amal dikorupsi oleh pengurus masjid. Renovasi masjid tak kunjung usai, sedang amal tak pernah kurang diberi. Petugas amal juga dituduh sebagai koruptor kaleng amal. Petugas amal yang sedih itu bertanya dalam diam. Jika benar hasil amal dikorupsi, apa mogok amal bisa jadi solusi? 

pic: www.flickr.com
Ilustrasi diatas merupakan gambaran mengenai kondisi para “jamaah” yakni wajib pajak yang enggan membayar pajak karena adanya mistrust terhadap pengelolaan pajak. Seperti para jamaah masjid yang mogok isi kaleng amal, wajib pajak juga melakukan ancaman boikot pajak sebagai bentuk ketidakpercayaan. Namun benarkah boikot pajak ini bisa menjadi solusi? Dimanakah letak permasalahan sebenarnya?

Keletihan masyarakat
Apatisme lahir dari kekecewaan. Boikot pajak muncul sesungguhnya bukan karena motif agama dan kepercayaan – meski memang ada sebagian didorong karena motif tersebut, namun lebih kepada kekecewaan terhadap pengelolaan hasil penerimaan pajak. Masyarakat tentu jengah melihat para pejabat menikmati uang rakyat serta bosan dengan pemberitaan media tentang korupsi. Namun disatu sisi, jalanan masih berlubang sana sini, anak-anak sekolah masih bergelantungan menyebrangi sungai demi mencerahkan masa depan. Terlebih masih ada aparat pajak yang belum hijrah bersama reformasi birokrasi, masih menanggalkan intergitas, kerjasama dengan WP yang tidak jujur mengurangi pembayaran pajak. 

Hal – hal semacam inilah yang menjadi mistrust wajib pajak. Berujung pada tanda tanya besar, kemanakah uang pajak yang terhimpun ratusan triliun itu? Kekecewaan mulai mendera. Kelompok pembayar pajak yang tadinya taat, mulai mengendurkan semangat melihat uang pajak yang mereka bayar masih bocor sana sini. Kelompok pembayar pajak yang curang tetap diam, sambil terus mencari peluang bersama petugas pajak yang mau disuap untuk mengurangi pembayaran pajaknya. Kelompok ketiga adalah kelompok yang bukan pembayar pajak, mereka lah yang kemudian teriak dan turun kejalan meminta keadilan. Menyerukan boikot pajak, menuntut para aparat pajak dan mengutuki Direkorat Jenderal Pajak (DJP), sang amil pajak yang malang. Sayangnya mereka salah alamat. Meminta kesejahteraan meningkat namun bersamaan menyeru pada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Padahal. jika sumber pendapatan negara ini surut, sulitlah mewujudkan keinginan rakyat agar keran – keran subsidi terus dialiri. 
pic: /ideguenews.blogspot.com

mendengarkan dengan hati


Petang itu, sebenarnya hanya ingin mampir maghrib karena adzan sudah berkumandang, tapi selesai  shalat tertarik melihat backdrop penuh cahaya yang biasa puat tempat foto seleb kalo lagi ada award. Wah, ini pasti ada acara seru nih. Niat pulang akhirnya urung dan lanjut isya di mesjid ini.

u are not touching without a smile
Benar saja, jam 8 malam, para jamaah yang umumnya remaja (saya masuk kategori ini) masjid Sunda Kelapa. Semangat juga yah rupanya. Malam minggu biasanya entah kemana, pindah tempat nongkrong jadi di mesjid. Pasti ada yang spesial. Ada siapa sih?

Tak lama kemudian, pembicara datang. Wah,,Alvin Adam! Bakalan asik nih. Kebetulan beberapa waktu lalu, saya sempat baca profil tentang Alvin Adam dan makin impresed dengan personality serta kemapuan beliau setelah baca profil beliau dimajalah. Cuma penasarana aja, gimana yah kalo ketemu langsung? Secara kampanye pencitraan bener2 ga populis lagi. Udah follow twitternya, dan makin suka. Ga heran dong  dengan kemampuan good listening nya, program TV nya masuk dalam jajaran rating tinggi. 

Setelah ketemu, bener deh. Kayak begini nih orang sukses. Auranya keluar. Semangatnya, dibalut dengan kesantunan, tapi kita  sebagai audience tetap merasa dekat dengan beliau. Taglinenya keren. Keren karena unsur simplicitynya bs dia terapkan bener- bener. “Hanya hati yang bisa mendengarkan kata hati”. Wow, hayo siapa yang ngedengerin curhatan orang trs pengen orgnya cepet selesai ceritanya? Saya! Saya ngaku deh, kalo dengerin WP ngeluh blablabla udah ngalor ngidul langsung ga sengaja berdoa; Ya Allah, udahan dong ni si bapak/ Ibu curhatnya” 

Ini nih yang musti saya asah lagi. Sering ngrasa, ga cocok sm pekerjaan karena saya bukan good listener, not good adviser, impatient, plus selalu kalah narsis dan pede dibanding rekan kerja lainnya. Tapi udah 4 tahun kecemplung, masak terus dibiarin aja gitu ketidakmampuan saya mengurung saya dari masa depan cerah yang gemintang? Beuuuh…sip!! (kepercayaan diri saya udah mulai naik nih)

Manusia yang Percaya


pic: penuliscemen.com

Manusia terkadang sangat mudah tertipu. Konyolnya, mereka tertipu dalam perjalanan mereka untuk mendapatkan keyakinan dari apa yang sudah dilihat dan didengar. Sama seperti para nasabah lembaga keuangan gadungan yang tiba - tiba lari meninggalkan para korban. Padahal sesungguhnya para nasabah itu tidak yakin akan kemustahilan uang berlipat ganda. Namun melihat tetangga kanan kiri yang bisa mendadak kaya, mereka sedang dalam perjalanan menuju yakin tapi apa daya hanya bisa gigit jari.

Kadang orang juga mudah tertipu karena mereka berharap pada tipuannya. Sudah tahu bahwa air tak akan bisa jadi bensin, tapi ada saja orang yang sangat ngarep tipuan itu benar adanya. Jika benar air bisa jadi bensin, lalu daun bisa jadi uang, list orang terkaya di dunia bukanlah Bill Gates, tapi bisa jadi Dedy Corbuser. 

Yang terakhir adalah orang yang mengijinkan dia tertipu. Sekali, dua kali, bahkan berkali - kali. Seperti seorang ibu yang tak kuasa untuk tetap mempercayai anaknya meski ia tak punya lagi ruang untuk kecewa saat tahu anak kesayangannya itu masih tak meninggalkan narkobanya. Seperti istri yang tahu bahwa suaminya adalah seorang peselingkuh, tapi ia tetap memperbarui kepercayaannya ketika suaminya ijin keluar kota. Seperti ayah yang menunggu belasan tahun untuk keadilan anaknya yang terbunuh. Seperti rakyat yang tau bahwa orang yang ia pilih untuk mewakilinya di gedung yang terhormat itu pastilah berkhianat.