Alkisah petugas pengambil kaleng amal
tertunduk lesu karena hasil amal para jamaah merosot tajam. Diantaranya justru
mengambalikan kaleng amalnya. Para jamaah curiga hasil pengumpulan amal
dikorupsi oleh pengurus masjid. Renovasi masjid tak kunjung usai, sedang amal
tak pernah kurang diberi. Petugas amal juga dituduh sebagai koruptor kaleng
amal. Petugas amal yang sedih itu bertanya dalam diam. Jika benar hasil amal
dikorupsi, apa mogok amal bisa jadi solusi?
pic: www.flickr.com |
Ilustrasi
diatas merupakan gambaran mengenai kondisi para “jamaah” yakni wajib pajak yang
enggan membayar pajak karena adanya mistrust
terhadap pengelolaan pajak. Seperti para jamaah masjid yang mogok isi kaleng
amal, wajib pajak juga melakukan ancaman boikot pajak sebagai bentuk ketidakpercayaan.
Namun benarkah boikot pajak ini bisa menjadi solusi? Dimanakah letak
permasalahan sebenarnya?
Keletihan masyarakat
Apatisme
lahir dari kekecewaan. Boikot pajak muncul sesungguhnya bukan karena motif
agama dan kepercayaan – meski memang ada sebagian didorong karena motif
tersebut, namun lebih kepada kekecewaan terhadap pengelolaan hasil penerimaan
pajak. Masyarakat tentu jengah melihat para pejabat menikmati uang rakyat serta
bosan dengan pemberitaan media tentang korupsi. Namun disatu sisi, jalanan
masih berlubang sana sini, anak-anak sekolah masih bergelantungan menyebrangi
sungai demi mencerahkan masa depan. Terlebih masih ada aparat pajak yang belum
hijrah bersama reformasi birokrasi, masih menanggalkan intergitas, kerjasama
dengan WP yang tidak jujur mengurangi pembayaran pajak.
Hal
– hal semacam inilah yang menjadi mistrust
wajib pajak. Berujung pada tanda tanya besar, kemanakah uang pajak yang terhimpun
ratusan triliun itu? Kekecewaan mulai mendera. Kelompok pembayar pajak yang
tadinya taat, mulai mengendurkan semangat melihat uang pajak yang mereka bayar
masih bocor sana sini. Kelompok pembayar pajak yang curang tetap diam, sambil
terus mencari peluang bersama petugas pajak yang mau disuap untuk mengurangi
pembayaran pajaknya. Kelompok ketiga adalah kelompok yang bukan pembayar pajak,
mereka lah yang kemudian teriak dan turun kejalan meminta keadilan. Menyerukan
boikot pajak, menuntut para aparat pajak dan mengutuki Direkorat Jenderal Pajak
(DJP), sang amil pajak yang malang. Sayangnya mereka salah alamat. Meminta
kesejahteraan meningkat namun bersamaan menyeru pada masyarakat untuk tidak
membayar pajak. Padahal. jika sumber pendapatan negara ini surut, sulitlah mewujudkan
keinginan rakyat agar keran – keran subsidi terus dialiri.
pic: /ideguenews.blogspot.com |
Mispersepsi Wajib Pajak atas Pengelolaan
Pajak
“Jika
uang pajak dikorupsi, maka salahkan petugas pajak” sepertinya menjadi shortcut untuk menyalurkan kekecewaan
pada pemerintah. Ini jelas mispersepsi. Kewenangan pengalokasian APBN ada pada
DPR. Ditangan wakil rakyat inilah lahir undang – undang ABPN setiap tahunnya.
Kemana, berapa, dan bagaimana uang negara dialirkan merupakan hasil kesepakatan
politik diantara DPR dan pemerintah. Melalui mekanisme APBN inilah, uang pajak
dan penerimaan lain disalurkan ke kementerian/lembaga untuk
dipergunakan sesuai dengan program kerja masing‐masing
Salah satunya adalah untuk membangun fasilitas publik.
Dimana
peran DJP? Sebagai bagian dari sumber daya pemerintah, DJP bertugas melaksanakan
amanah mengumpulkan iuran wajib dari masyarakat. Yakni berupa pajak yang
menjadi sumber utama penerimaan negara. Seperti ilustrasi diatas, DJP adalah
petugas penarik amal yang memastikan para jamaah mengisi kaleng amalnya.
Namun
ada mispersepsi kedua pada masyarakat. Yakni uang pajak dikorupsi aparat pajak,
karena DJP sebagai pengumpul dana. Ini salah
besar. Karena ketika wajib pajak membayar,pajak, uang langsung masuk ke bank
dan rekening negara. DJP hanya melakukan fungsi administrasi dengan menerima
pelaporan pembayaran pajak (SSP) beserta surat pemberitahuan (SPT).
Sederhananya, DJP bertugas mengumpulkan kuitansi, bukti pembayarannya saja.
Mispersepsi
berikutnya adalah mengenai pajak daerah yang dianggap masyarakat sebagai pajak
pusat yang turut dihimpun oleh DJP. Seperti BPHTB, pajak kendaraan bermotor,
restoran, hotel, hiburan, dan PBB (yang sebagian sudah dijadikan pajak
daerah). Bahkan retribusi dan pungutan liar yang dilakukan oleh oknum turut
dianggap sebagai ‘pajak’ sehingga menjadi beban masyarakat.
Terapkan Good Governance, secara
berjamaah.
Berangkat
dari ilustrasi diatas, sesungguhnya permasalahan tersebut dapat diatasi. Jamaah
akan mengisi kaleng amal apabila pengurus masjid transparan mengungkapkan
penggunaan uang amal tersebut. Transparansi tersebut harus dikomunikasikan
dengan baik, agar kemarahan dan kekecewaan para jamaah bisa diredakan.
Selanjutnya adalah melakukan pelaporan secara berkala sebagai sebagai wujud
akuntabilitas pengelolaan amal. Petugas amal harus bertindak professional.
Dengan tegas menarik zakat karena hukumnya adalah wajib.
Begitu
juga dengan pengumpulan penerimaan negara. Prinsip Good Governance yang dituangkan dalam Undang Undang No. 28 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan
Nepotisme harusnya menjadi acuan. Kementrian keuangan yang telah menerapkan
reformasi birokrasi tentu saja tidak mampu berjuang sendirian. Seluruh jajaran
pemerintah harus menerapkan prinsip - prinsip good governance ini secara berjamaah, antara lain adalah; Asas
Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas Kepentingan Umum,
Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalita, Asas Profesionalitas, Asas
Akuntabilitas.
Pembayar
pajak memiliki hak untuk ketersediaan informasi mengenai dana yang telah
diberikan. Tidak hanya alokasi yang tertuang dalam APBN, namun juga bagaimana
proses penggunaan anggaran oleh masing – masing kementrian/lembaga. Hal ini
membutuhkan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan. Kementrian lain harus peka
terhadap kebutuhan informasi masyarakat sehingga dapat lebih transparan dalam
penggunaan anggaran. Kementrian lain tidak lagi bisa tak acuh atas keengganan masyarakat
untuk membayar pajak, namun disisi lain menginginkan ketersediaan dana atas
program – program yang dibuatnya. Harus dipikirkan hulunya yakni tercapainya penerimaan
pajak. Dan ini harus dikawal bersama-sama.
Beberapa
mispersepsi di atas juga menjadi tantangan bagi DJP untuk segera diatasi. Direktorat
P2Humas harus secara konsisten memberikan pemahaman yang benar terhadap
masyarakat. Kepercayaan akan timbul jika DJP bisa mengkomunikasikan inovasi
perubahan yang sudah dilakukan seperti sistem whistle blower dan penanaman corporate
value pada pegawai yakni integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan
dan kesempurnaan. Komunikasi ini juga termasuk upaya memberikan pengetahuan
perpajakan yang memadai kepada masyarakat, agar timbul kesadaran dan kebanggaan
membayar pajak. Pengembangan customer
service merupakan salah satu terobosan yang efektif yang bisa dilakukan.
Masyarakat ikut berubah!
Langkah
perubahan DJP tidak akan bisa nyata hasilnya jika masyarakat tidak ikut
berubah. Sikap responsif yang konstruktif sangat dibutuhkan. Masyarakat diminta
adaptif terhadap perubahan. Memanfaatkan teknologi berupa situs, layanan call
center serta konsultasi dengan Account
Representative untuk memperluas wawasan perpajakan demi membuat laporan dan
pembayaran pajak yang benar dan jujur. Masyarakat diharapkan mengedepankan
kepentingan dan sustainabilitas negara ketika membayar pajak. Pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat membutuhkan dana. Boikot pajak jelas bukanlah solusi
yang arif, Oleh karenanya jangan biarkan negara mengalami stagnasi hanya karena
mispersepsi. Mari kita isi rekening negara sebagai wujud cinta pada bangsa,
layaknya jamaah yang mengisi kotak amalnya.
1 comments:
tulisan yang manis mii... :)
Sekelas artikel2 intisari... kereen..
_agung_
Post a Comment