Aku rindu masa kanak-kanak, yang bebas bercita cita. Hari
ini polisi, besok dokter, besok lagi menteri. Yang riang ketika ingin jadi apa,
yang tak membebani diri dengan bagaimana caranya dan sebagaianya.
Aku rindu masa kecil, yang suka menggambar. Mencoreti kertas
gambar, lantai, tembok bahkan baju sendiri. Tanpa ragu, membubuhi warna warni,
meski tak serasi tapi tetap percaya diri.
Aku rindu senangnya jadi anak SD. Yang bisa rangking satu
tanpa menahan kantuk semalaman karena belajar. Yang tetap bermain meski besok
ulangan. Mengerjakan PR tanpa manual solution tapi tetap benar. Tidak belajar, tidak merasa bersalah. Tetap bahagia
saja.
Aku rindu ketika masih amat belia, yang berangkat sekolah
karena wujud bakti kepada orang tua. Tanpa embel – embel ambisi. Alih alih
tentang status, pangkat dan harga diri. Sekolah adalah tempat menambah: teman
bermain, bersepeda, dan berpramuka
kadang juga berantem. Sungguh saat itu, ilmu adalah bonus.
Lalu perlahan –lahan, tentang ilmu ini mendominasi. Sungguh gembira
ketika mengerti apa yang dijelaskan. Bungah ketika bisa menjawab pertanyaan.
Lebih lagi jika ditanya teman. Namun perlahan, tentang ilmu tadi tergeser.
Ketika mengerti tak lagi cukup, memahami
dan bisa menjawab tak lagi memuaskan.
Dan saat itu, mulai ingin ada pengakuan atas kemapuan diri. Pengakuan
yang diketahui oleh khalayal ramai. Ini adalah proses yang melelahkan. Ketika manusia
mulai mengenal kata aktualisasi, kebutuhan akan pengakuan. Eksistensi. Tak lagi lisan, tapi dokumen bukti. Nilai yang
otentik, yang menarik.
Lamat- lamat solusi akan obsesi tadi menemukan pintunya. Nilai
tadi ketemu takarannya.
Dan ketika itu segala
niat luhur tentang bakti kepada orang tua, lalu tentang keutamaan ilmu
yang agung, luluh lantah. Salam sekejap angka membelokkan cita – cita, membiaskan
subtansi akan belajar. Membuyarkan
kejujuran. Yang penting angka, mengerti nomer dua, cara nomer tiga.
Sungguh gemerlap angka sangat menggoda. Ia menawarkan kemegahan kehormatan, menyuguhkan kebanggaan, kepuasaan, kedudukan. Segala kemanusiawan
yang menggembirakan.
Aku ingin kembali ke masa kanak kanak. Aku ingin bersahabat dengan ilmu, lalu jatuh cinta dengannya. Lalu angka kujadikan teman biasa aja. Meski ia sungguh menarik. Meski ia begitu cantik. Aku memilih dengan teman lama saja. Ia yang paling setia, ia yang jujur dan tak berkhianat pada yang jatuh cinta kepadanya
2 comments:
Memang sungguh indah masa kanak-kanak itu. Penuh keceriaan, kepolosan, lugu, apa adanya sajalah. ASLI, gak dibuat-buat, jujur sejujur-jujurnya. Ketika melakukan kesalahan, tak bisa disalahkan sepenuhnya, karena toh memang masih anak-anak kan??? masih banyak yang belum diketahui. Mana yang bena dan mana yang salah. Sekali lagi, karena memang masih anak-anak kan??? hehe.
Sebuah tulisan yang mengajak pembaca untuk sejenak berpikir all about "the angka". Yap, angka yang banyak dikejar oleh orang dewasa yang mungkin sedang lupa dengan sebuah tanda titik. Titik akhir dari sebuah cerita yang panjang. Setiap pembaca pasti punya pandangan yang berbeda-beda. No problem lah, itu kan memang hak masing2 toh???
Tapi, saya lebih menangkap sebuah pesan indah penuh makna dari tulisan mbak tersebut.
Terima kasih.
hmmm...
lagi-lagi...
tulisan yg menarik, masuk akal, namun tak pernah terpikirkan. disajikan dengan cerdas oleh mbak satu ini. kemampuan alami menyajikan logika & pikiran ke dalam kata2. it's a gift. cuman bisa manggut2 baca tulisanmu lia. keep writing...
sapa tau kelak bisa jadi next maria teguh. wkwkwkwk....
-fathur-
Post a Comment