Nyali mikroskopis
Kamu tak punya alat transportasi, tapi tak menyusutkan langkahmu untuk mencari nafkah untuk keluargamu. Kamu mungil. Tapi nyalimu menjulang setinggi gunung. Mengisi perutmu tak pernah mudah, tapi kamu cukupkan rejekimu dengan membagi hasil tangkapanmu dengan teman - temanmu.
Manusia seharusnya malu. Konon katanya kami punya akal. Tak sepertimu yang katanya hanya punya nafsu. Dia serakah. Jangan kan berbagi, Dia justru tak segan berbuat curang dan ambil bagian orang lain. Dia malas, dan punya sejuta alasan untuk tetap berbaring dalam kemalasannya menunggu rejeki datang.
Buatmu, aku yang mematung di sebelah bongkahan tangkapanmu ini adalah raksasa. yang siap memencetmu kapan saja. Tinggal lah berita duka untuk keluargamu. Kamu mati diinjak kelingking sang raksasa. Tapi sungguh itu tak menyiutkan langkahmu untuk memecah bongkahan roti dan membawanya pulang untuk keluargamu.Meski ada aku yang sedari tadi memelototimu.
Dalam lipatan - lipatan tubuhmu yang mikroskopis, kamu adalah pemimpin. PEMIMPI yang punya senjata huruf "N" diujungnya. NYALI. Itu yang membedakan kamu dengan manusia - manusia seperti saya. Raksasa, namun kadang nyali kami jauh lebih mikroskopis dari tubuhmu.
Cermin dan persimpangan
Dia sudah sampai di perempatan kesekian. Ia bergumam pelan, semoga perempatan terakhir
Seperti persimpangan sebelumnya, masih menggemgam cerminnya, dia melangkah pelan.
Pagi mulai beringsut - ingsut bangkit dari selimut kabut. Meretas, dan lamat - lamat persimpangan terlihat jelas.
Ada tiga jalan membentang berbeda arah, dan kebimbangan mulai berarak dari persimpangan di dua bola matanya ke dalam hatinya
Belok kanan, cahaya lampu jalan berpendar, belum dimatikan
Belok kiri, ada gedung - gedung tinggi. Jalan itu cuma kenal dua situasi. Sepi sekali, atau ramai sekali.
Lurus, ada papan besar, ucapan selamat datang. Datang kemana? sayangnya petunjuk ada di balik papannya.
Tapi yang dia lakukan justru diam ditempatnya. Ia sungguh lelah. Sudah banyak persimpangan yang ia lewati. Ia abaikan.
Dimana yang dia temui adalah jalan yang selalu asing. Kadang ramai kadang sepi. Kadang dia takut.
Tapi yang penting baginya adalah berjalan. Entah belok kanan, kiri atau lurus, yang penting ia berjalan.
Terus berjalan. Dan ketika ia mendapati jalan buntu, maka ia angkat cerminnya dan dia punya jalan untuk langkahnya
Ia berjalan mundur
pic: http://www.yanidel.net/ |
Hatinya yang buntu
Persimpangan ini membutuhkan cermin. Tapi kini baginya cemin adalah kebuntuan baru, karena dengan cermin, ia tak pernah sampai di ujung perjalanan. Cermin menyelamatkanya dari kebuntuan, namun mengantarnya pada persimpangan yang lain. Cermin ini adalah tempat ia lari, dari hal yang ia benci. Memilih
Persimpangan dan cermin
Ia mulai berjalan dan meninggalkan cermin di persimpangan.
Subscribe to:
Posts (Atom)