Di negara – negara maju, pajak adalah
kepastian. Keikutsertaan masyarakat akan pembayaran pajak adalah kewajiban yang
tak bisa dihindari. Seperti kematian, warga tak bisa bersembunyi dari pajak.
Namun hal itu tak berlaku di negara kita, siap saja bisa menghindar dari pajak.
Caranya sederhana, berlindung dibalik selimut aturan perpajakan itu sendiri.
Tak satupun penduduk bumi yang suka bayar
pajak. Namun siapa yang tidak tergiur tinggal dengan nyaman dan sejahtera
seperti warga Norwegia dan Swedia yang menurut laporan The Economist
dalam Pocket World in Figures, warga negara- negara tersebut memiliki kualitas
hidup terbaik di dunia.
Rahasia kesejahteraan warga tersebut bisa
jadi karena keberhasilan pemerintahnya untuk ‘mengajak’ masyarakat turut serta
mendanai perekonomiannya dengan pajak. Sejalan dengan hal tersebut, Organization
for Economic Co-operation and Development (OECD) di tahun 2012 melansir
bahwa negara-negara sejahtera itulah yang secara konsisten dari tahun 1965-2010
memiliki tax ratio tertinggi di dunia, bahkan hingga 50.8% (capaian untuk
Denmark tahun 2005).
Di Indonesia tax ratio (2012) baru
mencapai kurang lebih 15%. Jauh tertinggal dari negara-negara peserta OECD.
Tapi dengan tax ratio yang hanya kisaran belasan persen tersebut, pajak sudah
dapat menopang kurang lebih 70% APBN. Bayangkan jika keikutsertaan masyakat
meningkat separuhnya saja, APBN akan dapat seluruhnya dibiayai oleh pajak. Dan
penerimaan negara lainnya dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Lalu angan-angan tersebut mengapa hingga
kini masih menjadi mimpi indah saja? Jika berbicara tentang rendahnya kepatuhan
wajib pajak, baik pemerintah maupun masyarakat pasti punya sederet alasan masing-masing.
Masyarakat misalnya, malas bayar pajak dengan alasan kerepotan dengan
administrasi dan peraturan yang tidak praktis. Dari malas kemudian bertambah
menjadi apatis karena jengah melihat ulah pejabat yang seenaknya mengkorupsi
uang negara hasil dari pengumpulan pajak. Sedang pemerintah berkilah tentang
rendahnya kepatuhan karena sejumlah alasan teknis hingga kurangnya kesadaran
masyarakat.
Lalu sampai kapan wajib pajak lari dengan
tameng sulitnya administrasi dan pemerintah bersembunyi dalam alibi minimnya
partisipasi?
Pajak 1%, Upaya Merakyatkan Pajak
Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan
peraturan mengenai pajak final atas penghasilan wajib pajak dengan peredaran
bruto tertentu. Peraturan pemerintah yang tertuang dalam PP No. 46 Tahun 2013 ini
dipahami oleh masyarakat sebagai pajak untuk sektor usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM). Peraturan ini merekontruksi metode penyetoran pajak bagi wajib
pajak yang memiliki omset sampai dengan Rp.4,8 Milyar. Wajib pajak yang tadinya
harus menghitung angsuran pajaknya dengan rumit, kini hanya dengan satu tarif
yaitu 1% dari omsetnya setiap bulan. Selain tarif yang rendah, wajib pajak juga
tidak perlu dipusingkan dengan pelaporan tiap bulan. Karena tarif tersebut
bersifat final akhir tahun wajib pajak juga tidak perlu memperhitungkan kembali
penghasilannya. Sekali bayar tiap bulan, selesai.
Dengan tarif yang rendah, penerapan PP
No. 46 tahun 2013 ini diprediksi akan menurunkan pembayaran pajak bagi sektor
UMKM namun berpotensi memperluas basis pembayar pajak. Karena tujuan dari
peraturan ini adalah kesederhanaan, maka fokusnya adalah kemudahan. Satu tarif
dengan besar 1% dinilai dapat diaplikasi dengan mudah oleh masyarakat.
Harapannya, semakin banyak wajib pajak yang mau bayar pajak karena perhitungan
yang mudah.
Namun alih-alih disambut gembira oleh
wajib pajak, peraturan pemerintah ini justru panen akan kritik. Isu keadilan
mulai mengemuka karena wajib pajak menganggap peraturan ini telah melanggar
hak-hak wajib pajak. Antara lain wajib pajak tidak lagi dapat mengkompensasi
kerugian, sementara itu penghasilan tidak kena pajak (PTKP) juga tidak lagi
diberikan kepada wajib pajak orang pribadi lantaran pajak yang disetor bersifat
final, sehingga tidak ada lagi perhitungan untuk akhir tahun.
Penerapan peraturan ini boleh jadi
menepikan hak-hak wajib pajak, namun semangat pemerintah untuk menyederhanakan
pajak juga salah satu upaya untuk mencapai keadilan. Selama ini alasan
kesulitan wajib pajak dalam memahami peraturan pajak membuat mereka enggan
bayar pajak. Akibatnya angka kepatuhan rendah. Target penerimaan pajak ditanggung
oleh wajib pajak yang itu-itu saja. Sedangkan sebagian besar masyarakat
bersembunyi dan menjadi free rider ikut menikmati manfaat pajak.
Mirisnya, sebagian masyarakat yang bersembunyi adalah mereka yang mampu dan sanggup
bayar pajak.
Sisi Lain Dari Keadilan Pajak
Dari pro kontra penerapan peraturan
tersebut, keadilan akan pajak sesungguhnya dapat dilihat dari sudut pandang
yang lain. Selama ini wajib pajak menuntut terpenuhinya hak-hak yang tertuang dalam
ketentuan umum perpajakan, dimana pembayar pajak punya kesempatan
mengkompensasi kerugian, dipajaki jika untung dan tetap mendapatkan batasan
PTKP. Namun sesungguhnya yang perlu dituntut adalah mereka yang masih
bersembunyi. Yang harusnya dituntut demi keadilan adalah mereka yang menjadi free
rider akan manfaat pajak padahal sesungguhnya mereka mampu untuk membayar
pajak.
Direktur P2Humas Ditjen Pajak, Kismantoro
Petrus pada suatu kesempatan mengatakan bahwa pada proses observasi, yang
sejatinya menjadi beban masyarakat usaha bukanlah pajak, tapi pungutan liar yang
dilakukan preman berseragam hingga oknum aparat pemerintah. Menyisihkan Rp 100
dari Rp.10.000 atau pajak 1% dari omset penghasilan bukanlah hal yang berat.
Para pelaku usaha justru berharap pungutan liat tersebut bisa diberantas. Mereka
berkeinginan agar dengan membayar pajak, pemerintah punya upaya lebih untuk
memerangi pungutan liar.
Contoh nyata adalah pedagang PKL tanah
abang yang berhasil direlokasi oleh pemda DKI. Selama ini PKL tersebut membayar
jutaan rupian per bulan kepada oknum tertentu agar dapat berjualan dan
menimbulkan kemacetan. Mereka membayar pungutan yang justru menciderai hak
orang lain akan jalan umum. Kemacetan juga menimbulkan kerugian yang luar biasa.
Jika saja semua pelaku usaha membayar pajak dengan benar, pemerintah akan punya
dana untuk membuatkan tempat yang layak bagi mereka berjualan. Tidak ada lagi
pungutan liar yang mencekik pedagang. Sedang biaya perawatan gedung juga akan
dibiayai dari pajak yang mereka bayarkan.
Namun masyarakat masih terjebak dalam
paradigma bahwa pajak adalah beban yang menyengsarakan. Bukan upaya yang
mensejahterakan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat proses pajak dapat
mensejahterakan butuh waktu yang panjang. Butuh 45 tahun bagi Denmark
meningkatkan tax rationya dari 30% menjadi dsatas 45%. Masyarakat kita tidak
sabar dan menginginkan cara yang pragmatis untuk memperoleh kesejahteraannya, meraup
untung dan menghindari pajak. Kesabaran masyarakat tersebut juga tergerus
dengan korupsi yang mengakar dan mewabah.
Namun hal ini jangan sampai membuat
langkah pemerintah surut. PP No. 46 tahun 2013 memang bukanlah peraturan yang
sempurna. Ditjen Pajak juga terus melakukan penyempurnaan dalam penerapannya di
lapangan. Yang perlu diingat adalah pemerintah telah membuat satu langkah maju
untuk memperluas basis pembayar pajak, berupaya untuk meningkatkan
keikutsertaan masyarakat terhadap pajak. Merakyatkan pajak untuk
mensejahterakan rakyat.